
Palu Sulawesi Tengah, CN– Sidang perdana praperadilan yang diajukan jurnalis Berita Morut, Hendly Mangkali, di Pengadilan Negeri Palu pada Jumat (16/5), secara memalukan ditunda akibat ketidakbecusan dan arogansi institusi Polda Sulawesi Tengah (Sulteng). Ketidakhadiran pihak termohon, yang tanpa alasan substansial meminta penundaan hingga Kamis (23/5), jelas merupakan bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan indikasi kuat adanya upaya obstruction of justice.
Hakim tunggal Imanuel Charlo Rommel Danes, S.H., dengan tegas menolak permohonan tidak berdasar dari Polda Sulteng, dan menetapkan sidang lanjutan pada Rabu (21/5). Keputusan hakim ini patut diapresiasi sebagai bentuk pembelaan terhadap tegaknya hukum di tengah praktik buruk aparat kepolisian.
Penundaan yang dipaksakan ini semakin memperkuat dugaan bahwa Polda Sulteng sengaja mengulur-ulur waktu dan berupaya menghindari pengujian publik atas penetapan tersangka terhadap Hendly Mangkali. Tindakan ini jelas menciderai semangat kebebasan pers dan menunjukkan ketidakpahaman atau bahkan kesengajaan untuk mengebiri hak jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Solidaritas terhadap Hendly Mangkali terus mengalir deras. Belasan jurnalis dari berbagai media, termasuk tokoh-tokoh pers senior seperti Udin Salim (Metrosulawesi.net), Icham Djuhri (Metrosulteng.com), dan Ilham Nusi (Radar Sulteng), hadir langsung di ruang sidang sebagai bentuk dukungan nyata. Kehadiran Ketua Aliansi Anti Korupsi dan Peduli Pembangunan Morut, Burhanudin Hamzah, serta seorang ibu dari desa Towara, Petasia Timur, semakin menunjukkan bahwa kasus ini bukan hanya persoalan individu, melainkan menyangkut kepentingan publik atas kebebasan informasi dan pers yang sehat.
Dukungan moril dari Jenderal Sulaiman Agusto melalui sambungan telepon juga menambah bobot dukungan terhadap perjuangan Hendly.
Penetapan Hendly Mangkali sebagai tersangka oleh Polda Sulteng atas pemberitaan dugaan perselingkuhan merupakan preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia. Penggunaan pasal karet UU ITE dalam kasus ini sekali lagi membuktikan bahwa pemerintah dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya menghargai peran krusial jurnalis dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan menyampaikan informasi kepada publik. Tindakan kriminalisasi terhadap jurnalis melalui UU ITE adalah bentuk pembungkaman kebebasan berpendapat dan pers yang sistematis.
Sidang lanjutan pada 21 Mei mendatang menjadi ujian penting bagi integritas Polda Sulteng dan pengadilan. Publik akan mengawasi dengan seksama apakah pihak kepolisian akan menunjukkan itikad baik dengan menghadirkan saksi dan bukti yang relevan, atau justru terus berupaya menghindar dari pertanggungjawaban atas tindakan yang diduga kuat sebagai bentuk represif terhadap kebebasan pers. Keadilan harus ditegakkan, dan praktik kriminalisasi terhadap jurnalis harus dihentikan! *(Red)