
PALANGKA RAYA, CN –24 Mei 2025– Kuasa hukum Ketua DPD Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya Kalimantan Tengah (Kalteng), Ledelapril Awat, S.H., menyatakan penetapan tersangka terhadap kliennya oleh Polda Kalteng pada 20 Mei 2025 tidak tepat secara hukum. Ledelapril berpendapat bahwa kasus yang melibatkan kliennya seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana.
Argumen Berbasis Hukum Perdata
Ledelapril menjelaskan bahwa dalam perkara ini, PT Bumi Asri Pasaman (PT BAP) merasa dirugikan atas pemasangan spanduk oleh R dan rekan-rekannya. Namun, menurutnya, PT BAP seharusnya menempuh gugatan perdata melalui mekanisme perbuatan melawan hukum (PMH) di Pengadilan Negeri Buntok.
“Jika PT BAP merasa dirugikan baik secara materiil maupun moril, maka langkah hukum perdata lah yang didahulukan. Ada asas hukum ultimum remedium, yang berarti pidana adalah upaya terakhir,” tegas Ledelapril pada Jumat, 23 Mei 2025.
Penolakan Pasal Pidana yang Digunakan
Ledelapril juga menyoroti ketidakrelevanan pasal-pasal yang digunakan penyidik, yakni Pasal 335 KUHP tentang Pemaksaan Kehendak dengan Ancaman Kekerasan dan Pasal 167 KUHP tentang Masuk Pekarangan Tanpa Izin. Ia berargumen bahwa kedua pasal tersebut tidak tepat karena korban yang diklaim adalah badan hukum/perusahaan, bukan individu.
“Hukum pidana Indonesia menganut asas universitas delinquere non potest, yang artinya badan hukum tidak dapat menjadi pelaku atau korban kejahatan pidana. KUHP hanya mengenal individu sebagai subjek dan objek dalam delik pidana,” paparnya.
Sebagai penguat, Ledelapril mencontohkan beberapa pasal dalam KUHP seperti Pasal 338 (pembunuhan), Pasal 351 dan 354 (penganiayaan), serta Pasal 310 (pencemaran nama baik), yang semuanya mensyaratkan korban adalah orang (natuurlijk persoon), bukan badan hukum.
Ia juga mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang menegaskan bahwa frasa “orang lain” dalam Pasal 27A UU 1/2024 harus dimaknai sebagai individu, bukan lembaga, korporasi, atau institusi. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 1/PUU-XI/2013, tanggal 16 Januari 2014, dalam paragraf [2.3] menyatakan bahwa objek Pasal 335 KUHP adalah orang.
Mengenai Pasal 167 KUHP, Ledelapril mengutip pendapat R. Soesilo yang menyatakan frasa “masuk begitu saja” tidak serta-merta berarti “masuk dengan paksa”. Menurutnya, kliennya dan tim masuk ke area pabrik PT BAP dengan cara sopan, mengisi buku tamu, dan didampingi petugas keamanan perusahaan saat pemasangan spanduk. “Maka, unsur pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 KUHP tidak terpenuhi,” imbuhnya.
Bukan Penyegelan, Melainkan Penuntutan Hak
Ledelapril juga membantah narasi penyegelan yang beredar di media sosial. “Yang terjadi adalah pemasangan spanduk untuk mendorong perusahaan melaksanakan putusan pengadilan. Tidak ada tindakan penyegelan,” tegasnya.
Ia menjelaskan definisi penyegelan menurut KBBI, yang berarti proses perbuatan menyegel atau menutup rumah/bangunan/barang sitaan dengan menempelkan segel. “Berdasarkan fakta dan penjelasan dalam KBBI, jelas tidak ada aksi penyegelan yang dilakukan,” katanya.
Kronologi Kasus dan Upaya Hukum
Perkara ini bermula dari Putusan Pengadilan Negeri Buntok Nomor 20/Pdt.G/2016/PN.Bnt tanggal 3 April 2017, yang menyatakan PT BAP telah wanprestasi terhadap Sukarto bin Parsan dengan nilai ganti rugi sebesar Rp778.732.739 ditambah bunga 6% per tahun sejak 2 Februari 2011. Putusan ini telah berkekuatan hukum tetap hingga ke tingkat Peninjauan Kembali (PK).
Namun, hingga saat ini PT BAP belum melaksanakan putusan tersebut. Oleh karena itu, Sukarto memberikan kuasa kepada DPD GRIB Jaya Kalteng untuk menuntut pelaksanaan putusan secara sukarela.
“Pihak perusahaan menolak dengan dalih hendak mengajukan PK ulang, padahal upaya tersebut telah dilakukan dan ditolak sebelumnya. Itu adalah dalil yang keliru, sebab PK hanya dapat dilakukan satu kali,” jelas Ledelapril.
Pihak kuasa hukum saat ini sedang mempersiapkan upaya hukum untuk kliennya R dan rekan-rekannya. Mereka juga akan meminta Kepolisian untuk melakukan mediasi agar dapat ditempuh Restorative Justice dengan pihak PT BAP. “Sejatinya R dan kawan-kawan hanya membantu masyarakat yang terzalimi, yakni Sukarto, yang menuntut haknya yang sudah 14 tahun (sejak tahun 2011) tidak dibayarkan oleh PT BAP,” ungkap Ledelapril.
Pentingnya Asas Praduga Tak Bersalah
Di akhir pernyataannya, Ledelapril menyerukan agar semua pihak menghormati asas praduga tak bersalah.
“Penangkapan dan penahanan bukan bukti kesalahan. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Semua pihak harus menunggu putusan pengadilan yang inkracht. Klien kami berhak dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” pungkasnya.*(Red)