
Jakarta, CN– Reputasi dan integritas dua tokoh bangsa, Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, yang selama ini dikenal sebagai pilar inspirasi, kini berada di persimpangan jalan. Pencalonan keduanya sebagai anggota Dewan Pers periode 2025-2028 menuai sorotan tajam dan bahkan disebut melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI), Hence Grontson Mandagi, dalam pernyataan tertulisnya yang disampaikan di Jakarta pada Selasa (13/5/2025), tanpa ragu menyampaikan keprihatinannya. Ia menegaskan bahwa figur sekaliber Busyro Muqoddas dan Komaruddin Hidayat, dengan kapasitas dan kompetensi yang tak diragukan, justru terjebak dalam proses pemilihan yang disinyalir penuh rekayasa dan merugikan mayoritas insan pers di Indonesia.
“Saya menaruh hormat dan apresiasi tinggi atas niat baik kedua tokoh ini untuk berkontribusi memajukan pers Indonesia. Namun, sungguh ironis ketika harapan mulia itu justru ditempuh melalui mekanisme yang cacat hukum, yang didesain oleh segelintir elite pers di Dewan Pers,” ujar Mandagi dengan nada prihatin.
Mandagi mengingatkan rekam jejak gemilang kedua tokoh. Busyro Muqoddas dikenal luas atas keberaniannya memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2010-2011, sementara Komaruddin Hidayat dihormati atas kepemimpinannya yang visioner selama dua periode sebagai Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarta).
“Ketokohan dan integritas mereka sudah teruji. Namun, keterlibatan dalam proses pemilihan Dewan Pers yang bermasalah ini justru mempertaruhkan citra baik yang telah mereka bangun,” tegas Mandagi.
Lebih lanjut, Mandagi mengungkapkan keyakinannya bahwa kedua tokoh tersebut tidak memiliki ambisi pribadi dan bersedia mengkaji ulang kejanggalan dalam proses pemilihan anggota Dewan Pers. Ia bahkan mendesak agar Busyro Muqoddas dan Komaruddin Hidayat mengambil langkah proaktif.
“Meskipun Surat Keputusan Presiden telah terbit, akan lebih bijak jika keduanya mempertimbangkan untuk mundur, atau setidaknya mendesak pihak terkait untuk mengembalikan kedaulatan pers kepada pemiliknya yang sah: seluruh masyarakat pers Indonesia,” imbuhnya.
Mandagi menjelaskan akar permasalahan ini terletak pada dominasi “elite pers nasional” di Dewan Pers yang cenderung meminggirkan kepentingan pers nasional secara luas. Ia menyoroti praktik legalisasi kerjasama media dengan pemerintah melalui Sertifikat Perusahaan dan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Dewan Pers, yang dinilai tidak transparan karena tidak melalui mekanisme tender pihak ketiga.
“Akibatnya, fungsi kontrol media terhadap pemerintah di seluruh tingkatan menjadi lumpuh. Media yang kritis membongkar praktik korupsi justru terancam pemutusan kerjasama. Wartawan dipaksa berkompromi dengan idealisme, sementara konglomerasi media menikmati karpet merah monopoli iklan,” beber Mandagi dengan nada geram.
Celakanya, lanjut Mandagi, Dewan Pers justru terkesan melegitimasi praktik “pelacuran pers” ini di berbagai daerah, alih-alih bertindak sebagai penjaga independensi pers. Konstituen Dewan Pers saat ini dianggap sebagai alat bagi “pengkhianat kemerdekaan pers” untuk menguasai lanskap media nasional.
“Dewan Pers yang ada saat ini lahir dari rahim oligarki. Konstituennya adalah representasi elite yang ‘merampok’ kemerdekaan pers, mengingkari sejarah perjuangan tahun 1999 dan pendirian Dewan Pers tahun 2000,” tandasnya.
Organisasi-organisasi pers yang menaungi ratusan ribu wartawan dan puluhan ribu media lokal justru direndahkan, namun ironisnya dijadikan objek bisnis utama melalui UKW. Peraturan konstituen dibuat sepihak untuk mensterilkan anggota Dewan Pers dari organisasi pers yang idealis, dengan tujuan melanggengkan praktik “duit haram” di desk Aduan Perkara Pers melalui kriminalisasi pers.
“Pak Busyro dan Pak Komaruddin perlu memahami bahwa Peraturan tentang konstituen Dewan Pers tidak disusun oleh organisasi pers yang sah sesuai UU Pers, sehingga tidak memiliki kekuatan mengikat. Kewenangan pemilihan anggota Dewan Pers seharusnya dikembalikan kepada seluruh organisasi pers berbadan hukum di Indonesia,” tegas Mandagi, yang juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia.
SPRI menyoroti fakta bahwa Dewan Pers secara sepihak membentuk Badan Pekerja Pemilihan Anggota Dewan Pers dan menetapkan mekanisme rekrutmen calon anggota tanpa melibatkan inisiatif dan penjaringan dari organisasi pers, yang jelas bertentangan dengan Pasal 15 Ayat 3 UU Pers.
Sebagai bentuk protes dan upaya penegakan hukum, Dewan Pimpinan Pusat SPRI telah mengirimkan surat resmi kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, meminta penundaan penetapan hasil pemilihan Anggota Dewan Pers Periode 2025-2028 karena prosesnya yang cacat hukum.
Mandagi menutup pernyataannya dengan mengingatkan sejarah penyusunan UU Pers yang secara tegas menyerahkan kewenangan pemilihan anggota Dewan Pers kepada organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. *(Red)