
Tangerang, CN-II Gelombang protes kembali menyasar kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang. Banyak warga yang mengaku menjadi korban mafia tanah menuntut pembubaran kantor BPN setempat, menyusul maraknya dugaan penerbitan sertifikat tanah tanpa dasar hak yang jelas.
Situasi ini mengindikasikan adanya praktik yang berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), khususnya terkait hak atas tanah dan pendaftaran tanah.
Sejumlah warga Kabupaten Tangerang dari berbagai wilayah, termasuk Ranca Buaya, Rajeg, Paku Haji, Gempol Sari, hingga Sepatan, menyuarakan kekecewaan mendalam terhadap pelayanan dan integritas BPN. Mereka menuding oknum di instansi tersebut terlibat praktik mafia tanah, yang dapat dikategorikan sebagai tindakan pidana penipuan dan pemalsuan dokumen.
“Banyak sertifikat tanah diterbitkan tanpa alas hak yang jelas. Kami duga, oknum BPN bekerja sama dengan mafia tanah untuk menerbitkan sertifikat palsu, lalu menggadaikannya ke bank. Akhirnya, masyarakat dan pihak bank menjadi korban,” ujar Danih, salah satu warga yang memiliki sebidang tanah di Desa Ranca Buaya, Jambe.
Praktik semacam ini tidak hanya merugikan masyarakat secara finansial, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendaftaran tanah yang seharusnya dijamin oleh negara. Hal ini berpotensi melanggar Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pemalsuan Surat dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Permasalahan serupa sebelumnya pernah mencuat berkaitan dengan sengketa lahan pagar laut yang belum terselesaikan hingga saat ini.
Kini, kasus makin meluas dengan ditemukannya banyak sertifikat di beberapa wilayah yang statusnya tidak jelas namun telah digunakan sebagai objek pinjaman ke bank.
“Sudah banyak korban, baik masyarakat, maupun pihak bank. Kami menduga, praktik ini sudah lama berlangsung dan melibatkan oknum BPN yang hingga kini kebal hukum. Contoh kasus Pagar Laut di Desa Kohod, akan tetapi para oknum tersebut malah dibebaskan dari penjara seakan-akan tidak tersentuh hukum,” katanya pada Kamis (10/07/2025).
Pernyataan ini menyoroti dugaan impunitas dan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan pertanahan, yang seharusnya ditindak tegas berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika terbukti ada unsur penyalahgunaan wewenang dan korupsi.
Warga menuntut agar kantor BPN Kabupaten Tangerang dibubarkan dan aparat penegak hukum turun tangan mengusut tuntas dugaan mafia tanah serta penyalahgunaan wewenang oleh oknum BPN. Tuntutan ini sejalan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan penegakan hukum untuk menciptakan keadilan.
“Kami minta kantor BPN ini dibubarkan saja kalau tidak mampu melayani masyarakat dengan jujur dan transparan. Jangan sampai ada lagi korban yang dirugikan,” tegasnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak BPN Kabupaten Tangerang belum memberikan keterangan resmi terkait tuntutan pembubaran tersebut. Namun, dari konfirmasi salah satu staf ahli (Kasubsi), disebutkan agar awak media melakukan konfirmasi langsung ke Kantor BPN dan menemui Ongky Suherman (15/07/2025).
Terkait maraknya mafia tanah dan ketidakjelasan status banyak sertifikat yang diterbitkan, masyarakat berharap adanya perhatian serius dari pemerintah pusat dan aparat hukum untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pelayanan pertanahan di wilayah Kabupaten Tangerang. Penegakan hukum yang tegas terhadap oknum-oknum yang terlibat dalam praktik mafia tanah menjadi kunci untuk memberantas praktik ilegal ini dan melindungi hak-hak masyarakat.
Tim Red