
Lahat, Minggu, 13 Juli 2025 – Di tengah gema instruksi Presiden untuk Koperasi Merah Putih sebagai sokoguru ekonomi rakyat, Desa Lubuk Tampang, Kikim Timur, Lahat, justru mempertontonkan dugaan praktik yang mencederai semangat itu. Pembentukan Koperasi Merah Putih di sana tercium kuat aroma nepotisme, mengabaikan Peraturan Menteri Koperasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 yang jelas-jelas melarang kerabat Kepala Desa menduduki posisi strategis. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pengkhianatan terhadap prinsip transparansi dan keadilan yang seharusnya menopang koperasi.
Peraturan Menteri Koperasi Nomor 1 Tahun 2025, yang lahir dari Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025, adalah benteng pelindung koperasi dari cengkeraman kekuasaan desa. Ia dirancang untuk mencegah konflik kepentingan dan nepotisme – dua penyakit kronis yang kerap merusak sendi-sendi kelembagaan publik. Pasal 1 huruf b angka 3 secara gamblang melarang pengurus dan pengawas koperasi memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda hingga derajat kesatu. Artinya, tak ada ruang bagi anak, orang tua, apalagi saudara kandung, untuk bercokol dalam struktur yang sama. Ironisnya, bahkan saat Kepala Desa menjabat Ketua Pengawas ex-officio, Pasal 2 huruf a angka 4 dan 5 tetap menegaskan larangan serupa. Aturan ini bak rambu lalu lintas yang jelas, namun di Lubuk Tampang, rambu itu seolah dianggap angin lalu.
Dugaan pelanggaran paling mencolok terarah pada sosok Pahrudin bin H. Abdur Rasyid, yang saat ini menjabat Ketua Koperasi Merah Putih Desa Lubuk Tampang. Informasi yang beredar luas dan dikuatkan oleh pengakuan warga menyebutkan Pahrudin adalah kakak kandung dari Kepala Desa Lubuk Tampang sendiri, Taufiqorrohman bin H. Abdur Rasyid. Jika ini benar, maka ini bukan lagi “potensi” pelanggaran, melainkan pelanggaran telanjang terhadap regulasi yang ada.
“Pahrudin itu saudara kandung kepala desa kami! Aturan bilang nggak boleh ada hubungan keluarga sedarah di kepengurusan. Ini kan jelas-jelas menyalahi aturan tentang Koperasi Merah Putih,” keluh Setra, salah seorang warga, pada 7 Juli 2025. Ia juga menyoroti bagaimana konflik kepentingan keluarga bisa mengorbankan warga, memuluskan jalan bagi dugaan aksi korupsi, dan menunjukkan betapa kentalnya nuansa KKN dalam pembentukan koperasi di desa mereka.
Sentimen serupa diutarakan oleh Truwo, warga lainnya, di tanggal yang sama. “Kades tidak seharusnya mementingkan diri sendiri. Sudah sangat jelas di dalam aturan Koperasi Merah Putih tidak boleh ada hubungan keluarga di dalam kepengurusan dengan alasan menghindari konflik kepentingan. Di Desa Lubuk Tampang ini masih banyak yang mampu dan punya keterampilan, jangan hanya mementingkan keluarga Kades saja! Uang negara ini untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk menyejahterakan pihak-pihak yang merasa berkuasa,” tegasnya, menohok telak praktik yang mementingkan segelintir orang.
Upaya konfirmasi kepada Kepala Desa Lubuk Tampang, Taufiqorrohman, melalui aplikasi WhatsApp (0812-8038-XXXX) pada 7 Juli 2025, hanya berujung pada kebisuan. Hingga berita ini diterbitkan, sang Kepala Desa tak memberikan jawaban, bahkan diduga tega memblokir nomor tim jurnalis. Sikap bungkam dan menghindar ini kian menguatkan dugaan adanya sesuatu yang ingin ditutupi, sebuah indikasi kuat akan keengganan untuk transparan dan akuntabel di hadapan publik.
Kasus di Desa Lubuk Tampang ini menjadi cerminan betapa pentingnya pengawasan ketat terhadap implementasi program-program pemerintah di tingkat desa. Jika aturan yang jelas saja bisa dengan mudah dilangkahi, apalagi jika tidak ada pengawasan. Apakah Koperasi Merah Putih di Lubuk Tampang ini akan benar-benar menjadi penggerak ekonomi rakyat, atau justru hanya alat untuk membangun dinasti dan mengakomodir kepentingan pribadi/kelompok? Tim jurnalis akan terus mengawal dan menanti jawaban atas kejanggalan ini.
Publisher -Red