
Aceh Timur, CN – Penyelenggaraan Balai Latihan Kerja (BLK) di Aceh Timur kembali menuai sorotan tajam. Kali ini, pemerhati sosial Dedi Saputra, SH, tanpa tedeng aling-aling melayangkan kritik pedas atas kelambanan yang sudah keterlaluan dalam menuntaskan kegiatan pelatihan. Ia bahkan dengan tegas menyerukan agar dana desa (Gampong) yang telah disetor segera dikembalikan jika pelatihan tak kunjung menemui kejelasan.
Bagaimana bisa, sejumlah Gampong telah menggelontorkan dana tak sedikit, antara 5 hingga 8 juta rupiah, dengan harapan dua warganya dapat meningkatkan keterampilan melalui pelatihan BLK. Namun, fakta pahitnya, hingga detik ini, jadwal pelaksanaan kegiatan masih menjadi misteri yang tak terpecahkan. Sebuah ironi yang mencoreng harapan masyarakat!
Dedi Saputra mempertanyakan dengan nada geram, mengapa pihak penyelenggara terkesan bermain-main dengan kepercayaan Gampong yang sudah beritikad baik menyetor dana. Logikanya sederhana, Gampong yang sudah menunaikan kewajiban finansial seharusnya diprioritaskan. Mengapa justru wacana pelaksanaan pelatihan di Gampong yang belum menyetor dana justru lebih mengemuka? Ini bukan lagi sekadar kelalaian, tapi sebuah ketidakadilan yang nyata!
“Seharusnya, kegiatan yang dananya sudah masuk itu didahulukan! Jangan sampai dana desa mengendap tanpa kepastian. Sementara yang belum setor, ya silakan dijadwalkan di gelombang berikutnya. Ini soal profesionalisme dan tanggung jawab!” sentar Dedi dengan nada tinggi, Jumat (16/5/2025).
Lebih lanjut, Dedi menyoroti carut-marutnya manajemen pelatihan di BLK Aceh Timur. Bagaimana mungkin, pelatihan yang belum rampung justru disusul dengan program pelatihan lain, seperti pengembangan website Gampong? Ini jelas menunjukkan ketidakbecusan dalam perencanaan dan pelaksanaan. Alih-alih fokus menuntaskan satu program, malah membuka front baru yang berpotensi menambah kekacauan.
“Ini seperti membangun rumah tanpa fondasi yang kuat. Pelatihan yang satu belum beres, sudah buka pelatihan yang lain. Apa gunanya? Kualitasnya pasti dipertanyakan!” cecar Dedi dengan nada sinis.
Bahkan, Dedi tak segan menyindir pihak panitia dari salah satu lembaga di Kota Langsa. Jika memang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melaksanakan kegiatan dengan baik, lebih terhormat jika dana tersebut dikembalikan atau bahkan dialihkan ke lembaga lain yang lebih kompeten. Ini bukan soal gengsi, tapi soal pertanggungjawaban terhadap amanah yang diemban.
“Kalau memang tidak sanggup, jangan dipaksakan! Lebih baik kembalikan uang rakyat atau serahkan ke pihak yang lebih profesional. Jangan sampai dana desa hanya menjadi bancakan yang tidak menghasilkan apa-apa!” tegasnya.
Dedi Saputra mendesak penyelenggara untuk segera bertindak tegas dan menyelesaikan pelatihan sesuai dengan janji awal. Keadilan bagi Gampong yang telah menyetor dana harus diutamakan. Jika tidak ada itikad baik dan kejelasan, maka pengembalian dana adalah satu-satunya solusi yang adil.
Di tengah kegelisahan ini, suara sumbang justru datang dari salah satu camat dan ketua forum geuchik di Aceh Timur yang justru mendukung kegiatan BLK dan meminta untuk segera dilaksanakan. Dukungan ini terasa janggal di tengah carut-marutnya pelaksanaan dan ketidakjelasan yang dialami Gampong yang telah menyetor dana. Apakah mereka menutup mata terhadap fakta di lapangan?
Sementara itu, Ketua Panitia Pelaksana berinisial (RH) mencoba meredam kritik dengan alasan klise bahwa pelaksanaan kegiatan “sedang dalam tahap persiapan guna penyempurnaan kegiatan pelatihan.” Alasan ini terdengar usang dan tidak menjawab akar permasalahan, yaitu ketidakjelasan jadwal dan potensi kerugian dana desa.
Lebih lanjut, RH mencoba memaparkan rincian anggaran yang terkesan dipaksakan. Dana 5 juta rupiah untuk dua peserta, dengan alokasi 2,5 juta rupiah per peserta untuk pelatihan selama 7 hari. Kemudian, ada tambahan 1,4 juta rupiah per peserta untuk uang saku dan penginapan. Rincian uang saku 100 ribu per hari dan penginapan 100 ribu per malam per orang juga terasa minim dan patut dipertanyakan kualitasnya.
“Dalih ‘persiapan’ ini sudah basi! Mana buktinya? Mana jadwal yang jelas? Jangan hanya memberikan janji-janji kosong yang justru melukai kepercayaan masyarakat,” sindir Dedi menanggapi penjelasan panitia.
Pernyataan normatif RH bahwa kegiatan ini bermanfaat dan dapat mengembangkan skill peserta terdengar hambar di tengah ketidakjelasan dan potensi kerugian yang dialami Gampong. Retorika semacam ini tidak lagi relevan jika implementasinya nihil.
Kasus BLK Aceh Timur ini menjadi tamparan keras bagi penyelenggara dan pihak terkait. Dana desa yang seharusnya digunakan untuk pemberdayaan masyarakat justru terancam menguap sia-sia akibat ketidakbecusan dan kelambanan yang tak dapat ditoleransi. Masyarakat menuntut pertanggungjawaban dan kejelasan, bukan sekadar janji dan alasan yang tidak berdasar. Jika tidak ada tindakan nyata, bukan tidak mungkin kasus ini akan berujung pada persoalan hukum yang lebih serius.*(Red)