
Pemalang, CN-II Dugaan praktik mencurigakan yang melibatkan oknum kepolisian dan penagih utang kembali mencoreng citra institusi penegak hukum. (14/7/2025).
Sebuah insiden penarikan mobil secara paksa oleh debt collector di lingkungan Polsek Watukumpul, Kabupaten Pemalang, menimbulkan pertanyaan serius, diperparah dengan dugaan aliran dana sebesar Rp2 juta kepada pihak Polsek yang terekam dalam sebuah rekaman suara.
Korban, Koiman, seorang debitur PT Mandiri Utama Finance (MUF), mengungkapkan bahwa mobilnya ditarik paksa sebelum batas waktu kesepakatan pelunasan, bahkan saat kendaraan tersebut dititipkan di Markas Polsek Watukumpul. Ironisnya, dalam voice note yang ia terima, debt collector yang terlibat secara terang-terangan menyebut adanya “uang pelicin” senilai Rp2 juta untuk Polsek.
Kronologi yang Janggal: Dari Tunggakan Menuju Penarikan Paksa di Kantor Polisi
Kasus ini bermula pada tahun 2023 ketika Koiman mengambil kredit sebesar Rp50 juta, yang kemudian ditambah menjadi Rp100 juta. Setelah 13 bulan berjalan, ia mengalami kesulitan keuangan dan menunggak cicilan selama tiga bulan.
Gangguan dari para kolektor pun datang silih berganti ke rumahnya, menimbulkan tekanan mental bagi keluarga.
“Karena risih dan ingin menyelesaikan secara baik-baik, kami sepakat menitipkan mobil di Polsek Watukumpul. Disepakati saya diberi waktu 2–3 hari untuk melunasi tunggakan Rp19 juta,” jelas Koiman, menambahkan bahwa kesepakatan tersebut disaksikan oleh anggota piket Polsek.
Namun, hanya berselang 14 jam dari kesepakatan penitipan, mobil Koiman sudah diangkut oleh debt collector bernama Penji ke kantor pusat MUF. “Penji memberi tahu lewat video call bahwa mobil sudah dibawa, dan dalam voice note dia menyebut telah menyerahkan uang Rp2 juta kepada Polsek sebagai biaya penitipan,” tegas Koiman, menunjukkan bukti rekaman yang meragukan integritas aparat.
Bantahan Berliku dan Mediasi Buntu: Siapa Bertanggung Jawab?
Dikonfirmasi, Kapolsek Watukumpul mengaku tidak mengetahui kejadian tersebut dan justru menyerahkan sepenuhnya kepada Kanit dan anggota piket. Saat dikonfirmasi, anggota piket juga mengaku tidak tahu-menahu soal aliran dana dan hanya meminta wartawan menghubungi Kanit.
Kanit Polsek Watukumpul, yang identitasnya tidak disebutkan secara gamblang, membantah keras menerima uang. Ia sempat berjanji akan memfasilitasi pertemuan antara pihak-pihak terkait pada Senin, 8 Juli 2025.
Namun, hasil mediasi tersebut tidak menghasilkan kesepakatan apapun, menambah daftar panjang kegagalan penanganan kasus di tingkat Polsek.
Penji, debt collector yang menarik mobil, secara mengejutkan mengaku mengenal Kanit dan membenarkan niatnya memberikan uang sebagai “ucapan terima kasih”. Namun, ia berdalih, “Saya hanya jalankan perintah atasan. Soal Rp2 juta, itu baru rencana.” Pernyataan ini, meskipun mencoba mengelak, justru menguatkan dugaan adanya praktik “gratifikasi” yang terencana.
Pelanggaran Serius dan Ancaman Hukum:
Mencoreng Institusi Bhayangkara
Kuasa hukum Koiman, Rasmono SH, mengecam keras tindakan kolektor yang menarik unit di lingkungan Polsek sebagai pelanggaran hukum serius. Ia juga secara terbuka menyoroti dugaan gratifikasi yang melibatkan oknum kepolisian.
“Penarikan unit oleh debt collector tanpa kehadiran kedua pihak dan dilakukan di kantor polisi jelas melanggar hukum.
Jika benar ada aliran dana seperti disebut dalam voice note, ini bisa dikategorikan sebagai gratifikasi dan mencoreng institusi kepolisian,” tegas Rasmono, menuntut pertanggungjawaban.
Ia menambahkan bahwa kliennya sudah tiga kali mendatangi Polsek untuk mediasi, namun selalu berujung buntu. “Jika tidak ada itikad baik, kami akan ambil langkah hukum dan membawa masalah ini ke Mabes Polri,” ancamnya, mengisyaratkan akan membuka kotak pandora di tingkat yang lebih tinggi.
Pertanyaan untuk Institusi Polri:
Akankah Ada Ketegasan Terhadap “Mata Elang” dan Oknum Nakal?
Kasus ini bukan hanya menyoroti persoalan klasik soal relasi gelap antara debt collector dan oknum aparat, tetapi juga mempertaruhkan kepercayaan publik terhadap institusi Polri. Jika terbukti ada kongkalikong dan aliran dana gelap, ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, melainkan pengkhianatan terhadap sumpah dan janji sebagai pengayom masyarakat.
Masyarakat kini menanti: apakah institusi kepolisian akan bersikap tegas dan profesional dalam membersihkan internalnya dari praktik-praktik tercela ini, atau membiarkan kasus-kasus serupa tenggelam tanpa kejelasan, membiarkan “mata elang” bergentayangan dengan bekingan aparat? Sudah saatnya Polri menunjukkan komitmennya untuk memberantas oknum-oknum nakal dan melindungi masyarakat dari praktik penarikan paksa yang melawan hukum.
(Tim Redaksi