
ACEH SINGKIL –18 Juli 2025– Skandal pengukuran Hak Guna Usaha (HGU) PT. Delima Makmur di Aceh Singkil menjadi bukti nyata carut-marutnya birokrasi dan abainya negara terhadap hak-hak masyarakat. Proses perpanjangan HGU seluas 5.338,6 hektar yang telah dikuasai PT. Delima Makmur sejak 1995 ini diduga kuat melanggar prosedur, mengangkangi transparansi, dan secara terang-terangan mengabaikan partisipasi publik.
PT. Delima Makmur, yang selama 24 tahun terakhir telah mengklaim Desa Sintuban Makmur (4.477 hektar) di Kecamatan Danau Paris sebagai bagian dari areal HGU-nya, kini kembali memperpanjang cengkeramannya atas tanah rakyat. Ironisnya, proses ini justru menguak borok dalam tata kelola pertanahan di daerah.
Tajir TGR, seorang tokoh masyarakat yang vokal, menyoroti kejanggalan fatal sejak awal pengukuran. Pada Kamis, 17 Juli 2025, saat dimulainya pengukuran di Desa Sintuban Makmur, masyarakat dan bahkan kepolisian setempat tidak dilibatkan. Proses ini terkesan sengaja dirahasiakan, mengindikasikan adanya upaya sistematis untuk memuluskan kepentingan korporasi tanpa pengawasan publik. “Ada dugaan pelanggaran yang dilakukan petugas ATR/BPN pusat yang diutus tersebut, ini jelas-jelas tidak transparan,” kecam Tajir.
Ketidakterlibatan ini semakin mencurigakan mengingat pengukuran untuk HGU sertifikat nomor 1 yang lain, dengan luas 1.671,2 hektar (dulunya lahan gambut), juga dilakukan sehari sebelumnya pada Rabu, 16 Juli 2025, dengan modus operandi yang sama: minim partisipasi.
Parahnya, kehadiran Bupati Aceh Singkil, H. Safridi, beserta jajaran SKPK terkait dalam proses yang gelap ini justru memperkuat dugaan adanya restu dari elit daerah. Sementara para pejabat hadir, masyarakat dan tokoh dari desa lain yang ingin menanyakan kejelasan justru dibuat segan dan tidak berani mendekat. Ini adalah cerminan kegagalan pemerintah daerah dalam melindungi warganya dan memfasilitasi partisipasi yang semestinya.
Saat Pengakuan Bupati: Bukti Kecerobohan atau Kesengajaan?, Situasi ganjil ini baru sedikit terkuak ketika seorang jurnalis berhasil mendesak Bupati H. Safridi. Ketika ditanya apakah ini perpanjangan atau pengukuran ulang HGU, Bupati dengan santai menjawab, “Ini memang perpanjangan izin HGU PT. Delima Makmur.” Namun, ketika disinggung mengenai absennya tokoh masyarakat dan masyarakat umum, jawaban Bupati justru menunjukkan kelalaian serius atau bahkan kesengajaan. “Oh iya, kalau mau ikut dilibatkan boleh juga,” ujar Bupati, seraya menambahkan bahwa Camat akan “mengatur 2 atau 3 orang per desa” untuk menyaksikan.
Pernyataan ini adalah tamparan keras! Bupati seolah-olah menganggap pelibatan masyarakat hanya sebagai formalitas yang bisa diatur belakangan, alih-alih sebagai prasyarat fundamental dalam proses perizinan tanah. Ini mengkonfirmasi bahwa pelibatan publik memang tidak menjadi prioritas sejak awal.
Dugaan kuat pelanggaran tata cara oleh petugas Kementerian ATR/BPN dalam kasus ini tidak bisa ditoleransi. Berdasarkan prosedur standar, pengukuran untuk perpanjangan HGU wajib melibatkan berbagai pihak secara aktif, bukan hanya sekadar formalitas:
* Petugas Ukur Kementerian ATR/BPN: Wajib bekerja secara transparan.
* Kantor Jasa Surveyor Kadaster Berlisensi (KJSKB) dan Surveyor Kadaster Berlisensi (SKB): Harus memastikan akurasi dan kepatuhan.
* Pemohon/Pemegang HGU: Bertanggung jawab menunjukkan batas tanah secara jujur.
* Pihak-pihak lain yang berkepentingan: Termasuk instansi terkait, perangkat desa, dan yang paling krusial, tokoh masyarakat setempat.
Prosedur Penetapan Batas seharusnya dilakukan secara terbuka, berdasarkan Surat Pernyataan Pemasangan Tanda Batas dan Persetujuan Pemilik yang Berbatasan. Namun, kesaksian Tajir TGR dan pengakuan Bupati Safridi dengan jelas menunjukkan bahwa prinsip dasar ini diabaikan. Ketidaktransparan dan ketiadaan pelibatan masyarakat adalah resep ampuh untuk konflik agraria di kemudian hari, sekaligus merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Kasus PT. Delima Makmur ini bukan sekadar pelanggaran prosedur teknis, melainkan cerminan kegagalan sistemik dalam menjaga keadilan agraria. Pertanyaan besar yang harus dijawab adalah: mengapa ATR/BPN terkesan abai terhadap prinsip transparansi? Mengapa pemerintah daerah justru menjadi bagian dari persoalan alih-alih pelindung masyarakat?
Sudah saatnya Kementerian ATR/BPN segera melakukan investigasi menyeluruh dan transparan. Publik menuntut kejelasan dan pertanggungjawaban atas dugaan penyimpangan ini. Tanpa evaluasi dan perbaikan mendasar, proses perpanjangan HGU hanya akan menjadi alat legalisasi penguasaan lahan oleh korporasi, di atas penderitaan rakyat dan kerusakan lingkungan.
Apakah negara akan tetap membiarkan hak-hak masyarakat tergilas demi kepentingan segelintir pihak?
Publisher -Red