
BEKASI – 29 Juni 2025- Pernyataan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menyatakan tidak perlu menjalin kerja sama dengan perusahaan media telah menimbulkan keresahan di kalangan insan pers. Pernyataan tersebut disampaikan di hadapan mahasiswa Universitas Pakuan (Unpak) Bogor dan diunggah melalui kanal YouTube UNPAK TV pada Selasa, 24 Juni 2025.
Direktur Media Informa Indonesia, Doni Ardon, menyayangkan pernyataan Dedi Mulyadi. Menurutnya, pernyataan tersebut menabrak semangat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menegaskan fungsi pers sebagai pilar demokrasi dan kontrol sosial.
“Pernyataan KDM menabrak semangat UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menegaskan fungsi pers sebagai pilar demokrasi sekaligus kontrol sosial,” ungkap Doni Ardon pada Minggu, 29 Juni 2025.
Ardon menilai bahwa meskipun sah sebagai pendapat pribadi, pernyataan tersebut tidak pantas disampaikan secara resmi dalam kapasitas Dedi Mulyadi sebagai pejabat publik, terlebih karena menimbulkan keresahan di kalangan insan pers.
“KDM selaku gubernur harus mengklarifikasi pernyataannya sehingga tidak bertabrakan dengan peran pers sebagai pilar keempat demokrasi. Ini jelas-jelas menyepelekan pers dan merugikan masyarakat yang membutuhkan informasi yang berimbang dan dapat dipertanggungjawabkan,” tegas Doni Ardon.
Doni Ardon juga menyoroti keluhan Dedi Mulyadi mengenai video yang dipotong dan diunggah untuk kepentingan tertentu yang merugikan dirinya. Ardon menegaskan pentingnya membedakan produk pers dengan media sosial.
“Itukan kerjaannya para konten kreator dan diunggah melalui medsos, jangan sedikit-sedikit menyalahkan media (pers),” jelasnya.
Menurut Ardon, dari sisi produksi, berita dari produk pers diolah oleh wartawan yang memiliki kemampuan jurnalistik secara terukur, sedangkan produk media sosial dapat diunggah oleh siapa pun tanpa memandang latar belakang. Selain itu, produk pers memiliki status hukum karena diterbitkan oleh perusahaan pers berbadan hukum dan mengacu pada standar Dewan Pers.
“Penerbitnya memiliki identitas dan bisa ditelusuri sedangkan produk media sosial bisa dipalsukan identitas pengunggahnya, dan informasi yang disebarkan bisa sewaktu-waktu hilang,” ujarnya.
Ardon menambahkan bahwa produk pers, seperti iklan dan advertorial, memberikan kontribusi pajak kepada negara, berbeda dengan media sosial yang kontribusinya masih minim dalam hal perpajakan.
“Hal ini menjadi persoalan serius mengingat pendapatan yang diperoleh melalui media sosial, baik melalui iklan maupun layanan berlangganan, tidak berkontribusi terhadap pendapatan negara,” pungkasnya.
Senada dengan Doni Ardon, Wakil Ketua SMSI Bidang Keorganisasian, Irwan Awaluddin, turut mempertanyakan prioritas Gubernur.
“Kenapa seorang Gubernur lebih mengutamakan wadah yang tidak berbadan hukum dan tidak ada profit feedback untuk Pajak Pemerintah baik Pusat, Provinsi maupun Kota dan Kabupaten seperti Medsos, sementara Medsos hanya sebagai sarana pelengkap Website Media,” ujar Irwan Awaluddin.
Awaluddin menilai bahwa fokus Dedi Mulyadi pada media sosial tanpa mempertimbangkan dampak pada perkembangan usaha media, baik televisi, cetak, maupun online, menunjukkan dugaan kepentingan pribadi.
“Dedi Mulyadi patut diduga hanya mementingkan pribadi dengan meraup keuntungan dari bermedsos tanpa memikirkan perkembangan dan pertumbuhan usaha dan perekonomian masyarakatnya. Ini jelas Gubernur Jawa Barat selain tidak berpihak pada perekonomian masyarakat Jawa Barat dan terkesan mau menang sendiri alias Monopoli Usaha,” tandas Irwan Awaluddin.*(Red)