
Aceh Singkil, 14 Juli 2025 – Tim Wali Nanggroe melakukan kunjungan kerja ke Aceh Singkil untuk menyoroti masalah tapal batas darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah yang belum tuntas, merujuk pada penetapan 1 Juli 1956. Selain itu, kunjungan ini juga membahas keluhan masyarakat terkait dugaan pencaplokan lahan desa oleh izin Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan.
Kunjungan yang berlangsung di kediaman Doctor Abi Hasan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat dari Kecamatan Danau Paris, Kuta Baharu, dan Kuala Baru. Tim Wali Nanggroe yang hadir meliputi Ketua Tuha Puet beserta perangkat, Ketua Fatwa Ulama, Protokol, Tuha Lapan, Bidang Hukum, dan Ketua MAA Singkil.
Kedatangan Tim Wali Nanggroe bertujuan untuk mengumpulkan informasi langsung dari masyarakat mengenai permasalahan tapal batas daratan Aceh Singkil dan wilayah Aceh secara keseluruhan yang masih menjadi polemik, khususnya di kalangan masyarakat perbatasan Kecamatan Danau Paris yang berbatasan langsung dengan Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Masyarakat menduga penetapan tapal batas saat ini tidak sesuai dengan batas yang ditetapkan pada 1 Juli 1956.
Salah seorang tokoh masyarakat yang tidak ingin disebutkan namanya menyoroti Permendagri Nomor 30 Tahun 2020 tentang batas daratan antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah yang diduga tidak sesuai dengan batas 1 Juli 1956. “Apabila Permendagri tersebut dipaksakan, maka akan berdampak pada pergeseran batas wilayah Aceh Tenggara yang seharusnya di Lawe Baleng menjadi di Lawe Pakam. Begitu pula Aceh Tamiang, tapal batasnya sudah beberapa tahap bergeser dengan Sumatera Utara,” ujarnya. Ia menambahkan, jika pilar utama, yaitu Ujung Simanuk-manuk di daratan Aceh Singkil bergeser, akan berdampak pada beberapa batas daerah Aceh lainnya.
Dalam kesempatan tersebut, masyarakat juga menyampaikan laporan terkait izin HGU yang diduga mencaplok tanah wilayah desa. Tajir TGR, seorang tokoh masyarakat Desa Sintuban Makmur, mengungkapkan, “Desa Sintuban Makmur sudah ada lebih dulu daripada PT Delima Makmur. Wilayah desa kami seluas lebih kurang 5.000 hektar, namun sudah puluhan tahun desa itu diklaim dalam izin HGU perusahaan tersebut. Sangat miris, masyarakat kami hidup di bawah garis kemiskinan, padahal perusahaan mengeruk hasil dari tanah wilayah desa kami. Kami ingin tanah wilayah desa kami itu dikembalikan oleh PT Delima Makmur.”
Masyarakat juga meminta Tim Wali Nanggroe untuk menyampaikan kepada pemerintah agar tidak memperpanjang izin PT Delima Makmur seluas 1.667 hektar (izin tahun 1995) dan 5.368 hektar (izin tahun 1995) yang sebentar lagi akan berakhir masa berlakunya.
Selain itu, lahan kelompok tani Sejahtera di Desa Biskang, Kecamatan Danau Paris, juga diduga telah dicaplok oleh PT Delima Makmur selama puluhan tahun. “Sampai sekarang kami masih memperjuangkan dan meminta keadilan, hak kami harus dikembalikan,” tegasnya. Hampir seluruh desa di Kecamatan Danau Paris memiliki wilayah yang dikuasai oleh PT Delima Makmur. Masyarakat menduga perusahaan tersebut telah melanggar peraturan dan undang-undang ATR/BPN serta undang-undang Menteri Pertanian dan Perkebunan. Mereka berharap dan menunggu realisasi janji mantan Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf, untuk mengukur ulang seluruh HGU.
Masyarakat Aceh berharap Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf, Kelembagaan Wali Nanggroe, DPRA, DPR-RI asal Aceh, dan Presiden Republik Indonesia dapat segera membenahi masalah tapal batas sesuai dengan penetapan 1 Juli 1956, guna menghindari konflik di kemudian hari.
Publisher -Red
Reporter CN- – Amri/Tim