KERTOSONO – Genap setengah tahun pasca-robohnya Jembatan Lama Kertosono (Treteg Lama) pada Juli 2025, janji perbaikan pemerintah terbukti hanya isapan jempol. Hingga penghujung Desember, puing-puing beton masih dibiarkan mengerak di aliran Sungai Brantas tanpa ada tanda-tanda alat berat bekerja.
Ketidakjelasan ini memicu kecaman keras dari berbagai pihak. Aktivis 98 sekaligus praktisi media, Ir. Edi Uban, menilai pembiaran ini sebagai bentuk penghinaan terhadap sejarah dan kebutuhan mendesak rakyat.
“Kami akan terus menyuarakan aspirasi masyarakat. Jembatan ini bukan sekadar beton, ini ikon sejarah perjuangan ’45. Pemerintah Kabupaten Nganjuk seolah menutup mata terhadap sejarah dan penderitaan ekonomi warga,” tegas Edi Uban.
Mandegnya proyek ini diduga kuat akibat penyakit lama birokrasi: aksi saling lempar tanggung jawab (ping-pong) antara Pemerintah Kabupaten Nganjuk dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Perdebatan mengenai siapa yang harus membayar apakah APBD atau APBN menjadi tembok penghalang yang mengorbankan ribuan nyawa tiap harinya.
Alasan klasik seperti “keterbatasan anggaran” dan “proses verifikasi” dinilai tidak masuk akal. Pemerintah dikritik lebih mementingkan proyek estetika (kosmetik) di pusat kota daripada memulihkan jalur vital yang menghubungkan Kecamatan Kertosono (Nganjuk) dan Desa Bandar Kedungmulyo (Jombang).
Terputusnya akses ini bukan sekadar masalah jarak, melainkan soal taruhan nyawa. Dampak sistemik yang terjadi meliputi:
– Pendidikan Terancam: Ratusan pelajar harus bertaruh nyawa melintasi jalur utama provinsi yang padat kendaraan berat atau memutar sejauh 7 kilometer.
– Ekonomi Lumpuh: Pedagang di sekitar Pasar Kertosono melaporkan penurunan omzet drastis akibat hilangnya akses penghubung antar-kabupaten.
– Bom Waktu Bencana: Sisa material jembatan yang menyumbat aliran Brantas kini menjadi “bendungan maut”. Jika puncak musim hujan tiba, tumpukan puing ini diprediksi akan memicu banjir luapan ke pemukiman warga.
“Membiarkan jembatan vital mangkrak selama enam bulan tanpa solusi darurat (jembatan bailey) adalah bukti nyata lambatnya mitigasi bencana daerah. Ini bukan lagi sekadar bencana alam, tapi bencana kebijakan,” tambah Edi.
Warga Kertosono kini hanya punya satu pertanyaan: Apakah harus menunggu ada korban jiwa jatuh di jalur provinsi sebelum pemerintah akhirnya bergerak?
Publisher -Red PRIMA
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.













