
Opini oleh : Syafina Juliyan
BANYUMAS, 10 Oktober 2025 — Sebuah opini reflektif berjudul “Katanya Merata, Tapi yang Dikerjakan Hanya yang Ada di Depan Mata” yang ditulis oleh Syafina Juliyanti, seorang mahasiswi Hukum dari Universitas Harapan Bangsa, kini menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi dan pegiat sosial. Tulisan ini secara lugas menyoroti kesenjangan pembangunan yang mencolok antara wilayah perkotaan dan pedesaan, mempertanyakan keabsahan dari jargon “pemerataan pembangunan” yang selama ini digaungkan.
Dalam opininya yang emosional namun faktual, Syafina menyampaikan realitas sulit yang dihadapi masyarakat di pelosok. Ia menulis, “Aku tak tahu di mana letak ‘merata’ itu berada, karena di tempatku, jalan masih berlubang, sinyal masih hilang, dan sekolah masih setengah tanah.”
Kritik utama Syafina terletak pada anggapannya bahwa pemerataan seringkali hanya menjadi retorika yang berhenti di meja rapat. Ia menilai bahwa proyek-proyek pembangunan cenderung diprioritaskan pada wilayah yang “ada di depan mata”—mudah dijangkau dan berada di pusat kekuasaan—sementara daerah yang jauh justru terabaikan.
“Setiap kali menyalakan televisi, yang terlihat hanyalah gambaran kemajuan kota… Namun di sisi lain, anak-anak di pelosok masih harus menyeberangi sungai demi bisa bersekolah. Sebegitu tertinggalnya kami,” ujar Syafina dengan nada getir dalam tulisannya.
Syafina juga menyoroti minimnya perhatian dan intervensi nyata pemerintah di wilayahnya, yang terasa terputus dari pusat kebijakan. “Bantuan jarang datang, kalaupun datang paling hanya singgah sebentar. Entah tersesat di perjalanan atau memang kita yang terlupakan,” tambahnya.
Tulisan ini bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah seruan yang mendesak kepada para pemangku kebijakan untuk melihat melampaui gemerlap kota. Syafina menegaskan bahwa masyarakat pelosok tidak menuntut kemewahan, melainkan kehidupan yang layak: infrastruktur dasar yang aman dan fungsional, seperti jalan yang baik dan sekolah yang kokoh.
Dalam penutup yang menyentuh, Syafina Juliyanti menyimpulkan perasaannya: “Katanya pemerataan untuk seluruh rakyat, tapi aku merasa kami di sini hanyalah bayangan yang tak pernah terlihat.”
Opini ini menjadi refleksi tajam dari generasi muda yang peduli akan keadilan sosial, mengingatkan bahwa di balik statistik kemajuan nasional, masih ada suara-suara kecil dari pelosok negeri yang menunggu untuk benar-benar diwujudkan dalam aksi nyata, bukan hanya dalam slogan.
Publisher -Red