Purwakarta, 9 November 2025 – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Purwakarta menegaskan bahwa tidak ada persetujuan resmi dari lembaga legislatif terkait penundaan atau pembatalan Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) untuk desa tahun anggaran 2016–2018. Penegasan ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang dihadiri oleh Komunitas Madani Purwakarta (KMP) dan unsur Pemerintah Kabupaten (Pemkab) setempat.
RDPU dipimpin langsung oleh Ketua DPRD dan dihadiri oleh perwakilan Pemkab, termasuk Kabag Hukum, Kadiskominfo, Kadis DPMD, Kepala Inspektorat, dan Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD).
Dalam forum tersebut, Ketua DPRD menyampaikan tiga poin krusial terkait polemik DBHP 2016–2018:
Tidak ada persetujuan DPRD atas penundaan maupun pengalihan alokasi DBHP 2016–2018 ke desa.
Tidak terdapat kondisi luar biasa (seperti force majeure atau krisis fiskal) pada tahun-tahun tersebut yang dapat menjadi alasan sah penundaan.
– DPRD tidak pernah menerima, apalagi menyetujui, perubahan penjabaran APBD yang membatalkan alokasi DBHP ke desa.
Penegasan ini mengindikasikan bahwa dasar penundaan atau pembatalan DBHP kepada desa-desa pada periode tersebut tidak memiliki landasan hukum atau persetujuan yang sah dari DPRD.
Di hadapan forum, Ketua KMP mendesak agar Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di lingkungan DPRD maupun Pemkab untuk tidak menghalangi akses publik terhadap informasi terkait DBHP. KMP menyatakan kesiapan untuk menempuh jalur hukum atas dugaan Obstruction of Justice (Perintangan Penyidikan/Peradilan), merujuk pada regulasi seperti Pasal 52 UU KIP, Pasal 55–56 KUHP, dan Pasal 21 UU Tipikor.
Lebih lanjut, Sekretaris Jenderal KMP, Agus M. Yasin, S.H., mendesak DPRD segera membentuk Panitia Khusus (Pansus). “Pembentukan Pansus adalah langkah mendesak untuk menelusuri dugaan pelanggaran yang terjadi terkait DBHP 2016–2018,” ujarnya.
Aktivis KMP, Ir. Zaenal Abidin, M.P. (Kang ZA), menyampaikan kekhawatiran publik mengenai legalitas penundaan dana tersebut. Ia menekankan bahwa syarat sah penundaan dana desa hanya dua: Force Majeure (status darurat bencana resmi) atau Krisis Fiskal (defisit atau transfer pusat terpangkas). “Fakta lapangan menunjukkan kedua syarat itu tidak ada,” tegas Kang ZA.
Kang ZA kemudian mengajukan dua pertanyaan yang ditujukan kepada jajaran pejabat Pemkab yang hadir, menuntut kejelasan mengenai aliran dana tersebut:
“Sepakatkah Anda semua untuk mengusut ke mana aliran DBHP 2016–2018 sebesar Rp71,7 miliar tersebut?”
“Sepakatkah Anda bahwa penundaan DBHP tanpa dasar sah ini berpotensi pidana?”
Kang ZA menduga bahwa penundaan tanpa dasar tersebut berpotensi mengarah pada Penyalahgunaan Kewenangan (Pasal 421 KUHP dan Pasal 3 UU Tipikor) atau Tindak Pidana Korupsi (Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 15 UU Tipikor).
Menutup sesi, Ketua KMP kembali menegaskan komitmen mereka. “DBHP adalah hak desa. Penundaan tanpa dasar sah adalah perbuatan melanggar hukum. Kami akan kawal tuntas kasus ini,” tutupnya.
KMP menyatakan akan terus mengawal dugaan pidana terkait penundaan DBHP 2016–2018 dan mengajak partisipasi publik untuk mengawasi agar praktik serupa tidak terulang di masa mendatang.
Publisher -Red
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










