Palembang, 24 November 2025 – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan (Sumsel) menghadapi kritik tajam menyusul temuan serius mengenai pengelolaan Belanja Bantuan Keuangan Bersifat Khusus (BKBK) yang menjerat 17 kabupaten/kota dalam krisis likuiditas keuangan. Utang BKBK yang belum terbayarkan pada Tahun Anggaran 2024, yang mencapai Rp1.163.608.734.979,05, terbukti melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan dan menghambat kemampuan pemerintah daerah untuk membayar kewajiban jangka pendek.
Data audit keuangan menunjukkan bahwa kondisi kesulitan likuiditas yang dialami Pemprov Sumsel kini berdampak langsung pada 17 kabupaten/kota penerima BKBK.
– Sebanyak 13 kabupaten/kota diketahui terpaksa menggunakan kas yang dibatasi penggunaannya untuk menutupi kewajiban jangka pendek, termasuk kegiatan yang seharusnya didanai oleh BKBK.
– Enam kabupaten/kota terpaksa menguras saldo kas daerah mereka untuk menalangi pembayaran kepada pihak ketiga demi kegiatan BKBK yang dananya belum ditransfer Pemprov.
– Kabupaten/kota lainnya mencatat kurang salur BKBK sebagai Utang Belanja, menumpuk beban kewajiban yang tidak mampu mereka bayar.
– Analisis lebih lanjut menemukan bahwa sebelas kabupaten/kota akan mengalami kesulitan serius untuk membayar kewajiban jangka pendek mereka pada tahun 2024.
Kondisi ini menciptakan Kewajiban Rp1.163.608.734.979,05 yang seharusnya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2024, namun kini dialihkan menjadi beban tahun anggaran berikutnya karena tidak memiliki sumber pendanaan yang pasti.
Temuan ini menunjukkan adanya kegagalan serius dalam kepatuhan terhadap prinsip-prinsip tata kelola keuangan negara dan daerah. Penganggaran dan realisasi BKBK Pemprov Sumsel dinilai tidak sesuai dengan sejumlah regulasi kunci.
Poin Utama Pelanggaran Regulasi:
– Pelanggaran Asas Kemampuan Keuangan: Bertentangan dengan Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengharuskan APBD disusun sesuai dengan kemampuan pendapatan daerah dan Pengeluaran Daerah harus sesuai dengan kepastian tersedianya dana yang cukup.
– Ketidaktertiban dan Ketidakbertanggungjawaban: Kondisi ini melanggar PP Nomor 12 Tahun 2019 yang menekankan pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan secara tertib, transparan, dan bertanggungjawab.
– Pengabaian Prioritas Wajib: Penetapan BKBK tidak sejalan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) dan Peraturan Gubernur (Pergub) yang mensyaratkan BKBK hanya dapat dianggarkan setelah memprioritaskan pemenuhan Belanja Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan.
Kesulitan likuiditas ini disebabkan oleh dua faktor utama, yang merupakan kritik pedas terhadap kebijakan fiskal Pemprov:
– Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) menganggarkan APBD tidak berdasarkan kondisi pendapatan senyatanya. Ini adalah praktik penganggaran yang tidak realistis dan berisiko tinggi.
– Gubernur dalam menyetujui dan menetapkan alokasi Belanja BKBK belum mempertimbangkan kondisi dan kemampuan keuangan daerah.
Menanggapi temuan pemeriksaan tersebut, Gubernur Sumatera Selatan menyatakan dapat memahami hasilnya.
Namun, pengakuan saja tidak cukup. Publik dan pemerintah kabupaten/kota menuntut tindakan korektif yang cepat dan konkret, yaitu:
– Kepastian Pembayaran: Menetapkan jadwal dan sumber pendanaan yang jelas untuk melunasi utang BKBK senilai lebih dari Rp1,16 triliun.
– Evaluasi TAPD: Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap TAPD yang terbukti tidak profesional dalam mengelola risiko fiskal.
Krisis ini menjadi peringatan keras bagi Pemprov Sumsel untuk kembali pada koridor pengelolaan keuangan yang sehat, tertib, dan bertanggung jawab, demi menjaga keberlanjutan layanan publik di 17 wilayah kabupaten/kota.
Publisher -Red (PRIMA)
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










