SUBANG, Jawa Barat – SELASA, 25 NOVEMBER 2025 – Skandal penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar bersubsidi dengan dugaan pelanggaran hukum yang terang-terangan terungkap di Kabupaten Subang. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) 34-41 203, yang berlokasi strategis di Jalan Pamanukan – Suka Maju, Kecamatan Sukasari, diduga telah menjadi titik kritis praktik ilegal yang secara telanjang mencederai aturan pendistribusian resmi dan merugikan keuangan negara.
Fakta lapangan dan kesaksian warga menunjukkan bahwa Solar subsidi, yang seharusnya hanya bisa diperoleh melalui verifikasi ketat menggunakan barcode MyPertamina, diduga diperjualbelikan dengan bebas kepada pembeli yang tidak memenuhi syarat. Praktik ini secara fundamental membobol mekanisme yang ditetapkan pemerintah untuk mencegah penyelewengan.
Seorang warga, yang hanya ingin disebut UK, membeberkan kronologi praktik yang telah berlangsung cukup lama ini. UK mengaku bahwa pembelian Solar tanpa QR Code MyPertamina selalu berhasil dilakukan. Lebih mencengangkan, ia menuduh adanya dugaan kolusi yang sistematis antara oknum petugas SPBU dan pembeli ilegal.
“Kami tidak punya barcode subsidi, tapi tetap bisa beli. Petugas bilang barcode sudah ada dari mereka. Tinggal bayar saja,” ungkap UK kepada awak media, mengisyaratkan bahwa oknum SPBU diduga menggunakan jatah atau barcode internal mereka sendiri untuk memuluskan transaksi non-prosedural.
Dugaan praktik kotor ini semakin diperkuat dengan pengakuan adanya ‘upah licin’ yang diberikan. UK menyatakan bahwa pembelian dilakukan menggunakan jeriken atau galon, dan petugas SPBU diberikan ‘tip’ sekitar Rp20.000 per pengisian untuk memperlancar proses. “Biasanya kami kasih Rp20.000 per pengisian. Setelah itu, ya tinggal isi sebanyak yang kami mau,” tambahnya. Pola pembelian ilegal ini, menurut warga lain, berlangsung hampir setiap hari, terutama saat pengawasan dinilai longgar.
Jika informasi ini terbukti benar, praktik di SPBU 34-1203 ini bukan sekadar kesalahan administrasi, melainkan sebuah pelanggaran berat yang menabrak hierarki hukum di Indonesia. Praktik tersebut melanggar:
– Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 yang mengatur pembatasan Solar subsidi hanya untuk konsumen tertentu yang harus tercatat melalui sistem resmi.
– Keputusan Menteri ESDM Nomor 37.K/2022 yang secara spesifik mewajibkan penggunaan QR Code untuk mencegah penimbunan.
– Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas (serta perubahannya dalam UU Cipta Kerja).
Pasal 55 UU Migas mengancam pihak yang menyalurkan, menyimpan, atau menjual BBM subsidi secara tidak sah dengan pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda fantastis hingga Rp60 miliar. Pembelian menggunakan jeriken adalah indikasi kuat Penimbunan Solar untuk dijual kembali dengan harga non-subsidi, atau penyalahgunaan oleh pelaku industri yang tidak berhak.
Kasus yang mencuat pada hari ini, Selasa, 25 November 2025, ini menjadi bukti konkret lemahnya pengawasan dan buruknya akuntabilitas distribusi energi bersubsidi. Setiap liter Solar subsidi yang jatuh ke tangan yang tidak berhak berarti kerugian negara yang selisih harganya ditanggung oleh APBN.
“Ini adalah kejahatan berulang yang merugikan nelayan, petani, dan usaha mikro yang benar-benar berhak. Pertamina wajib segera melakukan audit distribusi menyeluruh terhadap SPBU 34-1203. Kelonggaran pengawasan telah membuka pintu lebar bagi penyimpangan yang terorganisasi,” ujar seorang pemerhati BBM bersubsidi.
Masyarakat mendesak agar Kepolisian Resor Subang dan penyidik migas segera turun tangan, melakukan pemeriksaan, dan memproses hukum oknum petugas SPBU yang terbukti terlibat kolusi. Penindakan pidana dan sanksi administrasi yang tegas sangat diperlukan agar kasus seperti ini tidak terus menjadi “penyakit kronis” yang merusak keadilan subsidi energi di Indonesia.
Tim Redaksi Prima
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










