BANDA ACEH – Cyber Nasional, 27 November 2025-;Bencana banjir bandang dan tanah longsor melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatra, terutama di Provinsi Aceh, menyusul curah hujan ekstrem yang terjadi secara berkelanjutan sejak 24 hingga 27 November 2025. Bencana hidrometeorologi ini telah menyebabkan kerugian material yang masif dan dikabarkan telah menelan korban jiwa di wilayah Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Ribuan rumah di berbagai kabupaten terendam, bahkan ketinggian air di beberapa desa mencapai bubungan atap dan menyebabkan sejumlah rumah warga hanyut terbawa arus.
Dampak terparah akibat luapan air sungai dirasakan di Kabupaten Aceh Singkil. Banjir melumpuhkan aktivitas di desa-desa seperti Singkil Pasar, Teluk Rumbia, Ujung, Takal Pasir, Pulu Sarok, Siti Ambia, Ujung Bawang, dan Kilangan di Kecamatan Singkil. Kondisi serupa juga terjadi di Kecamatan Singkil Utara (Desa Gosong Selatan, Gosong Timur, Kampung Baru), Kecamatan Gunung Meriah (Desa Sianjo Anjo, Labuhan Kera, Cingkam), dan Kecamatan Simpang Kanan, di mana rumah-rumah tenggelam setinggi atap, termasuk di Desa Silatong, Tanjungmas, Cibubukan, dan Lipat Kajang Bawah. Selain itu, banjir dan longsor juga dilaporkan terjadi di Kecamatan Danau Paris, sementara di Desa Buluseme, Kecamatan Suro Baru, ketinggian air mencapai 1.5 \text{ meter}.
Bencana juga meluas hingga ke daerah lain, termasuk meluapnya Sungai Lawe Alas di Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam. Di Aceh Selatan, banjir melanda Kecamatan Bakongan, Trumon, dan Kluet Selatan. Sementara itu, Kabupaten Aceh Timur, Aceh Tamiang (Kecamatan Sungai Iyu), Kabupaten Bireuen, Aceh Utara, Aceh Tengah (Takengon), dan Gayo Lues juga melaporkan kondisi longsor dan banjir yang terparah.

Menurut keterangan warga Aceh yang terdampak, parahnya bencana alam ini bukan sekadar faktor cuaca, melainkan disebabkan oleh deforestasi yang diakibatkan oleh penebangan liar yang tidak terkendali dan masifnya konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar.
Masyarakat menuding bahwa hilangnya fungsi hutan sebagai penahan dan penyimpan air telah mengubah pola bencana. Jika di musim kemarau air sungai kering, di musim hujan air tumpah ruah tanpa hambatan, menyebabkan banjir bandang yang parah dan destruktif, yang bahkan menimbulkan korban jiwa. Selain itu, aktivitas pertambangan galian C juga disoroti karena diduga turut memperparah erosi di wilayah terdampak.
Melihat kondisi darurat dan adanya dugaan kuat terhadap penyebab struktural lingkungan, warga Aceh mendesak perhatian dan tindakan serius dari Pemerintah Pusat. Masyarakat menuntut Presiden Prabowo Subianto bersama dengan para Menteri terkait, khususnya Menteri ATR/BPN, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri PUPR, dan Kepala BNPB, untuk segera melakukan program penanggulangan yang bersifat permanen. Tuntutan utama mereka adalah segera melaksanakan rehabilitasi hutan serta meninjau ulang dan menata kembali Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan kelapa sawit yang disinyalir merugikan masyarakat dan menjadi biang keladi bencana.
Penanganan komprehensif oleh pemerintah dinilai sebagai langkah krusial untuk mencegah terulangnya bencana yang menelan korban jiwa dan melindungi keberlanjutan hidup masyarakat di masa mendatang.
Publisher -Red
Reporter CN- Amri
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










