MAJALENGKA –29 November 2025- Pemerintah Kabupaten Majalengka kembali mengantongi Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2023. Capaian ini, yang tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Nomor: 44A/LHP/XVIII.BDG/05/2024, patut dipertanyakan bukan sebagai prestasi, melainkan sebagai simbol kemunafikan administratif yang menyelimuti pengelolaan keuangan daerah.
Sebuah Nilai Kosmetik Formalitas
Opini WTP sejatinya hanyalah pengakuan bahwa laporan keuangan Majalengka telah disusun secara formal dan rapi sesuai kaidah Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). WTP adalah rating bagi juru tulis (akuntan), bukan rating bagi efektivitas (kinerja) penggunaan anggaran.
Dokumen LHP ini, yang dinilai sebagai “Buku I” hasil audit, secara eksplisit tidak mengevaluasi apakah triliunan rupiah uang rakyat Majalengka telah dibelanjakan secara efisien, tepat sasaran, atau bebas dari indikasi pemborosan yang merugikan. Ia hanya menyatakan bahwa Neraca, LRA, LO, dan LAK sudah dicatat dengan benar.
WTP 2023 ini menempatkan Pemerintah Kabupaten Majalengka dalam posisi yang berbahaya: merasa sudah akuntabel hanya karena mendapatkan nilai kosmetik yang sempurna, sementara masalah struktural dalam tata kelola keuangan bisa saja masih menganga lebar.
Di Mana Buku II dan Temuan Audit?
Kritik tajam diarahkan pada keterbatasan transparansi yang melekat pada pengumuman WTP ini. BPK sendiri mengakui bahwa Opini WTP selalu disertai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan (sering disebut sebagai “Buku II”).
Jika Laporan Keuangan sempurna, mengapa harus ada Buku II? Faktanya, Buku II berisi “dosa-dosa” administratif dan ketidakpatuhan yang ditemukan BPK—bukti nyata adanya celah, kebocoran, atau kelemahan dalam sistem birokrasi Majalengka.
Apa bentuk temuan terpenting itu? Apakah terdapat indikasi kerugian negara akibat penyelewengan belanja, pengelolaan aset yang amburadul, atau potensi hilangnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) karena sistem yang lemah?
Jika Pemerintah Kabupaten Majalengka dan BPK hanya menggembar-gemborkan WTP tanpa secara tegas dan terbuka mengungkap detail temuan fatal dalam Buku II, maka opini tertinggi ini hanyalah sebuah alat pembenaran diri yang disajikan kepada publik.
WTP Harus Berbanding Lurus dengan Kesejahteraan
WTP tidak boleh menjadi titik akhir. Ia seharusnya menjadi titik awal bagi penindakan tegas terhadap semua rekomendasi BPK yang terselip di balik rating sempurna tersebut.
Publik menuntut agar predikat WTP yang diberikan BPK pada laporan 2023 ini harus berbanding lurus dengan peningkatan kualitas layanan publik, efisiensi belanja modal yang tidak mangkrak, dan berkurangnya potensi korupsi. Jika WTP Majalengka hanyalah capaian di atas kertas tanpa dampak nyata pada akuntabilitas dan efisiensi, maka WTP itu tidak bernilai sepeser pun di mata rakyat.
BPK didesak untuk tidak lagi bertindak pasif dengan sekadar mengeluarkan opini formalitas, melainkan harus mendesak Pemkab Majalengka untuk menindaklanjuti temuan audit secara transparan dan tuntas, demi tegaknya tata kelola keuangan yang benar-benar bersih, bukan sekadar rapi.
Tim Redaksi Prima
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










