Bengkulu –8 Desember 2025 -Skandal dugaan pencemaran lingkungan yang melibatkan Restoran Mie Gacoan Bengkulu kini merambah menjadi krisis kepercayaan institusional melibatkan korporasi yang inkonsisten, media yang abai verifikasi, dan pemerintah daerah yang lalai. Kasus ini bukan lagi sekadar masalah sumur bor, melainkan potret nyata kelemahan pengawasan dan penegakan hukum di Kota Bengkulu.
Ahmad Rifai, perwakilan warga Jalan Sudirman, secara eksplisit membantah klaim pengerjaan sumur bor yang sempat disiarkan beberapa media lokal sebagai “klarifikasi resmi,” memicu pertanyaan serius tentang standar jurnalisme di daerah ini.
“Kami bantah dulu supaya berimbang. Belum ada pengerjaan sumur bor itu,” tegas Ahmad. “Pemberitaan yang beredar tidak sesuai dengan kondisi lapangan.”
Bantahan warga ini menjadi tamparan keras bagi etos kerja pers yang dinilai gagal melakukan verifikasi dasar (check and re-check). Media yang mengangkat klarifikasi tanpa bukti dokumen dan tanpa konfirmasi lapangan telah mengkhianati prinsip faktualitas.
Kegagalan ini diperparah oleh pengakuan Kepala Cabang Mie Gacoan Bengkulu, Zainal, yang dengan enteng menyebut “klarifikasi resmi” tersebut hanyalah “obrolan ringan” dan “bukan pernyataan resmi.”
“Memang kami belum mengklarifikasi secara resmi. Kami hanya ngobrol soal apa yang sudah dilakukan… Yang kemarin itu hanya diskusi, bukan pernyataan resmi,” dalih Zainal.
Pengakuan ini menunjukkan betapa mudahnya manajemen korporasi menggunakan media sebagai corong propaganda yang tidak terverifikasi, sementara jurnalis lokal seolah hanya puas dengan jurnalisme “kopi darat” tanpa menuntut bukti legalitas dan dokumen resmi.
Masalah legalitas adalah inti dari polemik ini. Ahmad Rifai menyoroti rencana kerja tanpa izin, yang mencerminkan arogansi hukum pihak Mie Gacoan.
“Legalitasnya apa? Tidak bisa langsung mengerjakan begitu saja. Belum ada legalitas, tapi sudah mau bekerja,” kecamnya.
Namun, kritik paling tajam diarahkan pada Pemerintah Wilayah setempat. Kelalaian ini mencerminkan pemerintah yang “buta, tuli, dan bisu” dalam menjalankan fungsi pengawasan lingkungan dan izin usaha.
1. BUTTA terhadap fakta di lapangan, membiarkan dugaan pencemaran terjadi tanpa audit ketat.
2. TULI terhadap keluhan dan tuntutan warga mengenai izin dan tindak lanjut.
3. BISU karena tidak ada satu pun pernyataan tegas dari otoritas daerah yang menjamin penegakan sanksi jika terbukti melanggar UU Lingkungan Hidup.
“Di mana fungsi Dinas Lingkungan Hidup? Di mana peran Satpol PP menegakkan Perda? Pemerintah daerah terkesan membiarkan polemik ini berlarut-larut, seolah-olah keselamatan lingkungan dan kenyamanan warga bukan prioritas. Sikap ini adalah pengkhianatan terhadap mandat publik,” tegas sumber yang enggan disebut namanya.
Mie Gacoan, yang hingga kini mengaku menunggu surat dari kantor pusat untuk mengambil keputusan, seolah menjadikan birokrasi internal sebagai tameng. Sementara itu, warga dipaksa menanggung dampak dari kelumpuhan aksi yang dilakukan oleh korporasi dan kelalaian struktural oleh pemerintah daerah.
Publisher -Red PRIMA
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










