
CN- Sorong – 10 Juni 2025– Kasus sengketa lahan yang melibatkan PT Bagus Jaya Abadi (BJA) di Pengadilan Negeri Sorong memasuki babak baru yang mengundang sorotan tajam. Dalam sidang mediasi pertama pada Senin, 26 Mei 2025, terungkap fakta mencengangkan: PT BJA ternyata menggugat lahan tanpa memiliki dasar kepemilikan yang sah.
Pernyataan ini dilontarkan langsung oleh kuasa hukum PT BJA, Albert Frasstio, usai persidangan. Frasstio mengakui bahwa hingga saat ini, PT BJA tidak memiliki sertifikat apapun atas lahan yang disengketakan dengan Hamonangan Sitorus, pemilik sah yang justru digugat oleh perusahaan tersebut.
Pernyataan kuasa hukum PT. Bagus Jaya Abadi dapat dilihat di tautan berikut: https://youtu.be/k84i1t5ggHM?si=gD8NJESKCcc2IfP9
“Dari pernyataan pengacara PT BJA, jelas bahwa perusahaan itu tidak memiliki dokumen legal formal terkait status kepemilikan tanah yang diklaim klien mereka,” ujar sumber informasi yang mengikuti persidangan, Jumat, 6 Juni 2025.
Fakta ini memicu pertanyaan besar: mengapa pengadilan dapat memproses sengketa lahan tanpa bukti kepemilikan yang jelas? Banyak pihak menyayangkan langkah PN Sorong yang dinilai kurang cermat dalam menyaring syarat administratif sebelum menerima gugatan.
“Ini sangat aneh dan disayangkan. Bagaimana mungkin pengadilan memproses perkara sengketa kepemilikan tanah, sementara penggugat tidak memiliki sertifikat atau dokumen apapun yang diakui negara?” kata seorang pegiat hukum pertanahan.
Ia menambahkan, hukum perdata dan agraria di Indonesia mengharuskan adanya bukti sah, seperti sertifikat dari BPN, untuk mengklaim hak atas tanah. Gugatan tanpa dasar hukum yang kuat berpotensi menyesatkan proses peradilan dan menciptakan ketidakpastian hukum.
Kasus ini menjadi preseden buruk bagi perlindungan hak masyarakat atas tanah, terutama di daerah rawan konflik lahan seperti Sorong.
“Negara tidak boleh kalah oleh modus legal-formal yang lemah. Kita harus waspada terhadap praktik pengklaiman lahan sewenang-wenang, apalagi oleh korporasi tanpa sertifikat,” tegas seorang pemerhati hukum tanah adat di Papua Barat Daya.
Publik kini menanti ketegasan Majelis Hakim PN Sorong. Apakah gugatan tanpa dasar legalitas ini akan dilanjutkan, atau ditolak demi menjaga integritas hukum agraria dan melindungi hak warga negara?
Bagi Hamonangan Sitorus, keadilan kini berada di tangan pengadilan. Bagi masyarakat luas, kasus ini menjadi alarm bahwa pengakuan hak atas tanah di Indonesia masih menghadapi tantangan serius.
Menanggapi polemik ini, sejumlah pakar hukum telah mengkaji persoalan ini dan menilai gugatan PT BJA tidak berdasar:
* Dr. Surya Darma, SH, MH (Pakar Hukum Agraria, Universitas Cendrawasih): “Dalam hukum agraria Indonesia, klaim kepemilikan tanpa alas hak yang sah adalah gugur. Pengadilan semestinya menolak gugatan tanpa sertifikat sejak awal.”
* Prof. Nurkholis Djunaedi, SH, LL.M, Ph.D (Guru Besar Hukum Perdata Agraria, UI): “Gugatan tanpa HGB, HGU, atau HM tidak memiliki kekuatan hukum. Ini berbahaya jika dibiarkan, karena dapat membuka celah bagi praktik perampasan tanah terselubung.”
* Julius Batlayeri, SH (Advokat Senior dan Pemerhati Hukum Tanah Papua): “Mekanisme hukum kadang dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berhak. Majelis Hakim harus segera meminta bukti formal dari penggugat dan menghentikan proses gugatan jika bukti tidak tersedia.”
Dengan munculnya kritik keras ini, publik berharap PN Sorong lebih cermat dan tegas dalam menyikapi kasus serupa. Mempertahankan keadilan atas tanah bukan hanya soal dokumen, tetapi juga soal melindungi hak hidup dan sejarah masyarakat lokal. (Red)