
PATI – Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Pati menjadi sorotan tajam setelah mereka menyita ratusan dus air mineral, yang sejatinya merupakan barang donasi dari masyarakat untuk Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB). Insiden yang terjadi pada Selasa (5/8/2025) ini tidak hanya memicu ketegangan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang prioritas pemerintah daerah dalam mengelola ketertiban.
Alih-alih memfasilitasi kegiatan kemanusiaan, Satpol PP justru mengambil tindakan yang dinilai menghambat. Penyitaan ini berlangsung saat AMPB tengah mengumpulkan bantuan di Alun-alun Kota Pati. Ironisnya, alasan yang dikemukakan oleh Plt Sekretaris Daerah (Sekda) Pati, Riyoso, adalah “mengganggu ketertiban umum,” sebuah dalih klasik yang sering kali digunakan untuk membatasi ruang gerak masyarakat sipil.
Kuasa hukum AMPB, Serra Gulo, dengan tegas menuding tindakan ini sebagai “pencurian.” Gulo menyebutkan, AMPB telah mengantongi izin kegiatan dari tanggal 1 hingga 12 Agustus, yang seharusnya menjadi landasan hukum kuat. “Barang-barang ini bukan milik mereka, melainkan hasil keringat masyarakat yang peduli. Mengapa bantuan untuk rakyat justru disita oleh aparat pemerintah?” kritiknya.
Negosiasi yang terjadi pun jauh dari kata damai. Pemerintah daerah, melalui Plt Sekda Riyoso, terkesan plin-plan. Sempat ada janji untuk mengembalikan barang, namun kemudian dihalangi dengan tawaran yang membatasi: barang boleh diambil, tetapi tidak boleh diletakkan di lokasi semula. Tawaran ini jelas mengabaikan esensi dari kegiatan donasi dan membatasi hak AMPB untuk beraktivitas di ruang publik.
Ketegangan mencapai puncaknya sekitar pukul 14.00 WIB. Ratusan massa yang sudah memadati Kantor Satpol PP, frustrasi dengan alotnya negosiasi, akhirnya merangsek masuk dan secara paksa mengambil kembali barang-barang mereka. Pemandangan ini mencerminkan kegagalan komunikasi pemerintah daerah dan menggarisbawahi kesan bahwa birokrasi di Pati lebih memilih menghambat inisiatif warga daripada mendukungnya.
Peristiwa ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah, menunjukkan bahwa kebijakan yang seharusnya melindungi justru menjadi alat untuk membatasi. Pertanyaannya, apakah “ketertiban umum” yang dimaksud lebih penting daripada kelancaran kegiatan kemanusiaan yang berlandaskan solidaritas sosial?
Publisher -Red