
KENDAL, JAWA TENGAH 5 September 2025 — Menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW, warga Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, memiliki tradisi unik yang telah diwariskan secara turun-temurun, yaitu “Weh-Wehan”. Tradisi ini bukan sekadar ritual, melainkan cerminan nilai-nilai luhur kebersamaan, toleransi, dan kepedulian sosial yang mengakar kuat di masyarakat.
Tradisi Weh-Wehan, atau yang juga dikenal sebagai “ketuin”, sudah ada sejak puluhan tahun silam dan dipopulerkan oleh sesepuh serta ulama Kaliwungu, Mbah Akhmad Rukyat. Menurut H. Abdul Fatah, sesepuh Kampung Kenduruan, Desa Krajan Kulon, Weh-Wehan mengajarkan filosofi mendalam tentang tenggang rasa dan saling berbagi.
“Tradisi ini memang unik karena hanya ada saat menyambut Maulid Nabi. Mbah Akhmad Rukyat mengajarkan tentang kebersamaan dan saling berbagi. Nilai kearifan lokal ini terus dipertahankan,” ujar H. Abdul Fatah.
Weh-Wehan menjadi “hari raya” bagi anak-anak dan orang dewasa di Kaliwungu. Mereka berkeliling kampung, membawa berbagai jenis makanan untuk dibagikan atau ditukarkan kepada tetangga. Tradisi ini menjadi ajang silaturahmi yang hangat dan penuh makna.
Makanan yang dibagikan dalam tradisi Weh-Wehan sangat beragam, mulai dari hidangan tradisional hingga jajanan modern. Namun, ada dua kuliner khas Kaliwungu yang selalu menjadi primadona: sumpil dan ketan berwarna-warni.
Sumpil adalah makanan berbahan dasar beras yang dibungkus daun bambu, disajikan dengan bumbu kelapa parut pedas. Ida Fitriana, salah satu warga, mengatakan bahwa tahun ini ia menyiapkan 6 macam jajanan dengan total 150 porsi, dengan sumpil dan ketan sebagai menu utamanya.
“Harapan saya, tradisi yang mengangkat kearifan lokal ini harus terus dilestarikan,” tutur Ida.
Antusiasme juga terlihat jelas di wajah anak-anak. Sarif (10) dan Ajwan mengaku sangat gembira bisa menukar dan mendapatkan banyak makanan dari para tetangga. “Senang banget bisa tukar jajanan dan dapat banyak makanan,” kata Sarif riang.
Bupati Kendal, Dyah Kartika Permanasari, menyatakan dukungannya terhadap tradisi ini. Menurutnya, Weh-Wehan merupakan warisan leluhur yang harus terus dilestarikan dan tidak boleh terkikis oleh budaya lain.
“Tradisi ini luar biasa, sudah mengakar di masyarakat Kaliwungu. Ini menunjukkan rasa saling menghargai, menghormati, dan kepedulian antarwarga. Tradisi ini harus ada sampai kapan pun,” tegas Bupati Dyah Kartika Permanasari.
Tradisi Weh-Wehan bukan hanya sekadar perayaan, melainkan sebuah manifestasi nyata dari harmoni sosial. Dengan semangat berbagi dan kebersamaan, tradisi ini terus menjadi perekat yang menguatkan tali silaturahmi, sekaligus menjadi inspirasi bagi banyak pihak untuk terus menjaga dan melestarikan kekayaan budaya bangsa.
Publisher: Red
Reporter CN -Zen