
PALEMBANG – 12 September 2025- Kredibilitas pengelolaan keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) dipertanyakan menyusul temuan mengejutkan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) per 11 Mei 2024, BPK mengungkap adanya “ketidakberesan” dalam pengelolaan pendapatan retribusi daerah di Dinas Pendidikan Sumsel, sebuah skandal yang mengancam transparansi dan akuntabilitas anggaran publik.
Temuan BPK tidak main-main. Laporan tersebut membeberkan dua poin krusial yang menunjukkan lemahnya pengawasan dan kepatuhan terhadap aturan. Pertama, adanya pungutan retribusi yang melebihi tarif resmi yang ditetapkan oleh peraturan daerah (perda), dan kedua, penerimaan retribusi yang sama sekali belum diatur dalam regulasi resmi.
Pungutan Liar Berkedok Retribusi
BPK menemukan bahwa di UPTD Balai Pengembangan Pendidikan Kejuruan (BPPK), pungutan sewa gedung dilakukan di luar batas tarif yang telah disepakati. Ironisnya, dana yang terkumpul dari pungutan ini justru digunakan langsung untuk kebutuhan operasional sehari-hari yang tidak teranggarkan di APBD. Praktik ini menunjukkan adanya “kas gelap” yang beroperasi di dalam institusi pemerintah, jauh dari prinsip transparansi.
Selain itu, SMKN 3 Palembang juga tidak luput dari sorotan. BPK mencatat adanya penerimaan sewa sebesar Rp2.500.000,00 yang belum disetorkan ke Kas Daerah. Meski uang tersebut akhirnya dikembalikan, kejadian ini mencerminkan kelalaian fatal dan kurangnya disiplin dalam pengelolaan keuangan publik.
Pembiaran Ruang Gelap Pendapatan
Tak hanya soal tarif, BPK juga menemukan adanya penerimaan retribusi sebesar Rp24.000.000,00 dari penyewaan ruangan di UPTD BPPK yang tidak diatur dalam perda. Perda yang ada hanya mengatur tarif sewa harian, sementara UPTD BPPK menyewakan ruangan untuk bengkel kerja bulanan. Kekosongan hukum ini, alih-alih diatasi, justru dimanfaatkan untuk menarik pendapatan yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Atas temuan ini, BPK merekomendasikan Gubernur Sumsel untuk mengambil tindakan tegas, termasuk merevisi perda dan menginstruksikan jajaran di bawahnya agar patuh pada aturan. Namun, respons yang diberikan jauh dari memuaskan. Hingga saat ini, Dinas Pendidikan baru menindaklanjuti dengan mengeluarkan surat instruksi Gubernur, sementara revisi perda—langkah fundamental untuk menutup celah penyimpangan—belum dilakukan. Ini menunjukkan kurangnya komitmen politik untuk menyelesaikan masalah secara tuntas.
Publik berhak tahu, mengapa penyimpangan ini bisa terjadi? Apakah ini sekadar kelalaian atau ada pola yang lebih sistematis? Tanpa tindakan nyata dan akuntabilitas penuh, temuan BPK ini hanya akan menjadi tumpukan kertas yang terlupakan, sementara kebocoran anggaran terus terjadi.
Publisher -Red