
ACEH SINGKIL 26 September 2025 – Suara keresahan terkait dampak operasional PT Socfindo, sebuah perusahaan perkebunan di Aceh Singkil, kian mengemuka. Berbagai elemen masyarakat, termasuk tokoh adat, pemuda, hingga mahasiswa, menyampaikan kritik dan aspirasi mereka mengenai kontribusi perusahaan terhadap kesejahteraan lokal.
Tokoh masyarakat Aceh Singkil, Jalaluddin, menyoroti ketimpangan yang terjadi antara keuntungan perusahaan dengan kondisi ekonomi masyarakat. Ia menilai, operasional perusahaan yang telah berjalan puluhan tahun belum memberikan dampak kesejahteraan nyata bagi warga sekitar.
“Mereka datang dengan bendera investasi, tapi yang terjadi hanyalah eksploitasi. Perusahaan mendapatkan kekayaan dari tanah kami, namun kami masih merasa tertinggal dan menjadi penonton di atas tanah sendiri,” ujar Jalaluddin dalam sebuah wawancara dengan media lokal, Jumat (26/09).
Jalaluddin juga mempertanyakan efektivitas program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dijalankan oleh PT Socfindo. Menurutnya, janji-janji yang disampaikan melalui program tersebut tidak menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, seperti perbaikan fasilitas sekolah atau infrastruktur jalan desa.
“Setiap tahun kami mendengar janji CSR, namun realisasinya tidak terlihat. Jalan desa banyak yang berlubang, anak-anak muda tidak diberi kesempatan kerja. Program CSR mereka seperti hantu, sering disebut tapi tidak pernah terlihat,” kritiknya.
Ia menambahkan, bantuan sosial yang diberikan secara mendadak setelah munculnya gelombang demonstrasi dianggap sebagai upaya meredam kemarahan, bukan bentuk kepedulian yang tulus. “Ini bukan kepedulian, ini akrobat politik. Kalau mereka peduli, mereka tidak perlu menunggu masyarakat marah terlebih dahulu,” tegasnya.
Selain masalah ekonomi, Jalaluddin juga menyoroti isu lingkungan dan konflik agraria yang diduga timbul akibat aktivitas perusahaan. Ia menyebut adanya pencemaran air sungai dan pembukaan lahan secara besar-besaran yang mengganggu kehidupan warga yang bergantung pada alam.
“Kami hidup dari sungai dan hutan, tetapi sekarang sungai menjadi keruh dan hutan habis. Mereka hanya tahu menanam sawit, tetapi tidak pernah menanam hubungan baik dengan masyarakat,” katanya.
Jalaluddin mendesak pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Singkil, dan instansi pusat untuk segera turun tangan. Ia menyerukan dilakukannya audit independen terhadap kegiatan perusahaan dan dibukanya ruang mediasi terbuka yang melibatkan seluruh pihak, terutama masyarakat.
“Jika pemerintah terus diam, ini bukan hanya masalah perusahaan, tetapi juga pengkhianatan terhadap rakyat. Jangan biarkan Singkil hanya menjadi ladang sawit, sementara rakyatnya tidak mendapat apa-apa,” tegas Jalaluddin.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT Socfindo belum memberikan pernyataan resmi terkait kritik yang dilontarkan oleh masyarakat. Gelombang aspirasi dari warga Aceh Singkil tampaknya akan terus berlanjut hingga ada respons nyata dan perubahan yang signifikan.
Publisher -Red
Reporter CN -Masriani