
Ancaman “Zona Nyaman” bagi Jurnalis
Oleh: Wahyudi El Panggabean
“Hal terbaik dalam hidup sering menunggumu di jalan keluar zona nyamanmu.” Kutipan dari pakar pengembangan diri Karen Salmansohn ini tidak hanya berlaku bagi individu, tetapi juga sangat relevan dengan profesi yang seharusnya penuh dinamika: jurnalisme.
Seekor burung adalah simbol dari kreativitas, kelincahan, dan kebebasan. Kemampuan terbangnya yang menakjubkan, bermanuver, dan meluncur di udara adalah hasil dari perjuangan untuk bertahan hidup—memenuhi kebutuhan dan menghindari ancaman predator. Namun, apa yang terjadi jika seekor burung tidak lagi memiliki tantangan hidup? Ia akan kehilangan kemampuan terbangnya.
Fenomena ini nyata pada burung mandar pulau (Atlantisia rogersi) di Pulau Inaccessible, Samudera Atlantik. Nenek moyang burung-burung mungil ini diperkirakan terbang ribuan mil, tetapi kini keturunannya telah kehilangan kemampuan tersebut. Alasannya, lingkungan di pulau itu terlalu nyaman. Makanan melimpah dan tidak ada predator, sehingga mereka bisa mendapatkan semua yang dibutuhkan hanya dengan berjalan di tanah. Seiring waktu, seleksi alam menghilangkan urgensi mereka untuk terbang.
Tragedi disfungsi sistem terbang ini adalah analogi yang kuat untuk menggambarkan kemerosotan motivasi dan kreativitas di dunia jurnalisme saat ini. Era kemudahan dan fasilitas yang serba tersedia telah menjerumuskan banyak profesional ke dalam “zona nyaman” yang mematikan.
Di Indonesia, meskipun jumlah wartawan sangat banyak, sayangnya harapan bahwa mereka akan mengontrol kekuasaan dan menjunjung tinggi kebenaran kerap kandas. Banyak wartawan dan media terjerumus dalam “zona nyaman” yang diciptakan oleh suplemen finansial non-jurnalistik, seperti advertorial, kontrak berita seremonial dari pemerintah, dan ‘amplop’ dari berbagai pihak. Praktik-praktik ini adalah racun bagi integritas jurnalistik. Akibatnya, ujung pena wartawan menjadi “karatan” karena jarang digunakan untuk mencari dan menuliskan kebenaran.
Ironisnya, di beberapa daerah, seperti Riau yang memiliki ribuan institusi media, kondisi ini diperparah. Banyak yang mengaku wartawan, tetapi minim keterampilan dan pemahaman jurnalistik. Ini adalah realitas “Punya sayap, tapi tidak bisa terbang.” Mereka memiliki identitas wartawan, tetapi tidak mampu menjalankan fungsi jurnalistik dengan baik.
Padahal, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) adalah rambu-rambu yang seharusnya mengawal setiap langkah profesional mereka. KEJ menegaskan pentingnya akurasi, keberimbangan, dan tidak adanya konflik kepentingan. Tantangan dan kebutuhanlah yang seharusnya menjadi motivasi utama bagi jurnalis untuk terbang tinggi, menggunakan semua keterampilan yang mereka miliki untuk menyajikan informasi yang jujur dan berimbang kepada publik.
Namun, jika kita terus berada di “zona nyaman” karena semua fasilitas diperoleh tanpa kreativitas dan tantangan, kita berisiko kehilangan “sayap” untuk terbang. Kita akan menjadi jurnalis yang kehilangan marwah, mengorbankan kehormatan profesi demi kepentingan pragmatis.
Jadilah wartawan yang sejati, yang terbang tinggi menggapai kebenaran, bukan mereka yang nyaman berjalan di tanah dan kehilangan sayapnya.
Drs. Wahyudi El Panggabean, M.H. adalah Direktur Utama Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC) dan Master Trainer dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Redaksi