Prabumulih, 22 November 2025 – Dugaan praktik korupsi berjemaah dan penjarahan uang negara di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Prabumulih, Sumatera Selatan, kembali mencuat ke permukaan. Sejumlah temuan indikasi kerugian negara, termasuk manipulasi anggaran belanja barang, telah terbukti, namun kelompok “rampok” uang rakyat ini hingga kini belum tersentuh hukum.
Kondisi memprihatinkan ini memicu gerakan dari masyarakat. Ali Sopyan yang memimpin Team Relawan Bela Prabowo secara tegas mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) RI melalui Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI untuk segera mengambil alih dan mengusut tuntas dugaan korupsi masif di Prabumulih.
“Kami, Relawan Bela Prabowo, tidak akan tinggal diam. Kami berdiri di garis depan untuk memberantas jaringan pejabat yang menjadikan APBD sebagai ‘bancakan’ pribadi mereka. Sudah saatnya borok-borok di Pemkot Prabumulih ini diangkat dan pelakunya diadili,” ujar Ali Sopyan dengan nada geram.
Proyek Normalisasi Sungai Kelekar: “Santapan Pejabat” yang Tak Berujung
Salah satu sorotan tajam Relawan Bela Prabowo adalah proyek normalisasi Sungai Kelekar. Meskipun setiap tahun digelontorkan anggaran fantastis—bahkan sempat mendapat bantuan Rp40 miliar dari Provinsi Sumsel—proyek ini diduga keras telah menjadi “santapan” segelintir pejabat atau “penjahat” di Pemkot. Ironisnya, proyek bernilai puluhan miliar ini tidak pernah menjadi aset daerah yang bermanfaat maksimal, mengindikasikan kuat adanya kebocoran atau penggelembungan dana yang sistematis.
Tim V Pemburu Fakta Rajawali saat ini sedang menelusuri lebih lanjut mengenai aliran dana fantastis untuk proyek normalisasi Sungai Kelekar ini.
Temuan yang paling mencengangkan datang dari pemeriksaan internal terhadap Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Tahun 2024, khususnya dalam Belanja Barang Pakai Habis. Anggaran untuk Belanja Barang dan Jasa Pemkot Prabumulih mencapai Rp373,5 miliar, dengan realisasi Rp314,3 miliar. Namun, pemeriksaan uji petik menemukan adanya pembayaran yang tidak sesuai kondisi sebenarnya hingga total Rp539.311.366,00.
Pertanggungjawaban Belanja Bahan Cetak di 12 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terindikasi dimanipulasi sebesar Rp339.483.000,00. Modus yang digunakan sangat busuk dan terstruktur:
– Ketidaksesuaian jumlah lembar cetak dengan yang tertulis di nota Surat Pertanggungjawaban (SPJ).
– Perbedaan harga cetak sebenarnya dari toko dengan harga di nota SPJ.
– Perbedaan fisik nota (nota fiktif) yang diserahkan sebagai SPJ.
Toko F Buka Suara: Pemilik Toko F membeberkan praktik sistem pengembalian uang (cashback) yang diterapkan oleh Dinas PUPR, Dinas Perkim, Bagian Keuangan, dan Bagian Kerjasama Sekretariat Daerah. Untuk Dinas PUPR dan Perkim, mereka menerima pengembalian uang tunai setelah dipotong “uang terima kasih” toko (10%) dan nilai transaksi sebenarnya (sekitar 50%). Sementara untuk Bagian Keuangan dan Kerjasama, modusnya adalah menaikan harga fotokopi pada nota untuk “menutup” pengembalian uang.
Bahkan, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Bidang Energi dan SDA serta Kepala UPTD Pengelolaan Air Limbah Domestik Dinas Perkim mengakui adanya pengembalian uang yang kemudian digunakan untuk belanja yang tidak dianggarkan sebelumnya—sebuah pengakuan yang secara terang-terangan menunjukkan penyalahgunaan wewenang dan potensi korupsi.
Ditemukan juga penyimpangan pada Belanja Alat Tulis Kantor (ATK) sebesar Rp12.655.000,00. Modusnya termasuk:
– Meminta nota baru kepada toko dengan menggabungkan transaksi lama atau menaikan harga agar sesuai dengan Rencana Kerja Anggaran (RKA)/DPA SKPD.
– PPTK dan Staf di Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi bahkan mengakui meminta toko menandatangani nota yang telah diisi sendiri item barang dan harga oleh mereka, menjadikannya nota fiktif yang dipaksakan.
Meskipun sebagian kelebihan pembayaran telah disetor kembali ke Kas Daerah (Rp299.225.250,00 dari Bahan Cetak dan Rp12.655.000,00 dari ATK), ini bukanlah akhir dari masalah, melainkan awal dari penuntutan pidana. Pengembalian uang hanya menghilangkan unsur kerugian negara dalam kasus perdata, namun tidak menghapuskan unsur pidana korupsi yang telah terjadi, yaitu penyalahgunaan wewenang dan perbuatan curang.
“Pengakuan PPTK dan bukti manipulasi nota menunjukkan adanya niat jahat dan konspirasi korupsi yang terorganisir. Ini bukan sekadar kesalahan administrasi, tapi kejahatan berjamaah yang merampok uang rakyat melalui proyek dan belanja harian. Aparat penegak hukum tidak boleh hanya puas dengan pengembalian uang. Tipikor Kejagung dan KPK wajib segera masuk! Usut tuntas siapa dalang utama di balik modus ‘mark-up’ dan ‘uang kembali’ ini. Jangan sampai Prabumulih menjadi sarang para koruptor yang kebal hukum,” tegas Ali Sopyan.
Relawan Bela Prabowo akan terus memantau dan memberikan tekanan keras hingga para “rampok uang negara” di Pemkot Prabumulih ini benar-benar ditangkap, diadili, dan mendapatkan hukuman setimpal.
Publisher -Red
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










