JAKARTA/MEDAN —25 November 2025- Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) secara mengejutkan merilis hasil audit yang menyingkap dugaan kerugian keuangan masif dan indikasi tindak pidana di tubuh PT Angkasa Pura II (Persero) atau PT AP II. Temuan BPK mengungkap total 24 permasalahan krusial yang merentang dari pembiaran piutang macet hingga proyek yang terindikasi fiktif, menunjukkan bobroknya tata kelola di perusahaan operator bandara milik negara ini.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Nomor: 58/LHP/XX/11/2024 tertanggal 18 November 2024, yang kini menjadi sorotan publik, membeberkan kerugian keuangan PT AP II, anak perusahaan, dan instansi terkait lainnya di wilayah Banten, Sumatera Utara, Jawa Tengah, dan Kalimantan Barat untuk Tahun Buku 2021 dan 2022.
Inti dari temuan BPK adalah adanya dua kegiatan bisnis pada anak perusahaan PT AP II, yaitu PT Angkasa Pura Kargo (PT APK), yang secara tegas diindikasi fiktif. Kerjasama bisnis terkait pengiriman material proyek PLTU Transformer 2×3 MW Ampana pada PT APK terindikasi fiktif dan mengakibatkan kerugian keuangan perusahaan sebesar Rp8,67 miliar. Lebih parah lagi, kerjasama bisnis lain terkait proyek bendungan Sadawarna Indramayu-Subang paket 3, yang juga dilaksanakan oleh PT APK, terindikasi fiktif dengan kerugian fantastis mencapai Rp1,69 miliar. Ini belum termasuk kerugian yang timbul dari pengiriman kargo dan jasa penerbangan Charter pada PT APK yang tidak dilaksanakan sesuai perjanjian, serta kemitraan dengan PT STNS yang disinyalir tidak sesuai ketentuan.
Selain indikasi pidana, BPK menyoroti kelalaian fatal dalam penanganan aset dan piutang yang berpotensi melumpuhkan keuangan perusahaan. BPK mencatat penyelesaian piutang PT AP II sebesar Rp207,85 miliar berlarut-larut, dan outstanding piutang Parking Surcharge atau biaya tambahan parkir LAG di Bandara Kualanamu sebesar Rp57,02 miliar tak jelas penyelesaiannya.
Audit BPK juga menyoroti aspek strategis yang berpotensi memicu permasalahan hukum besar di masa depan, termasuk dalam kemitraan strategis yang sangat vital. Kemitraan strategis antara PT AP II dan GMR Airport Consortium dalam pengelolaan Bandar Udara Internasional Kualanamu disebut BPK berpotensi menimbulkan permasalahan hukum. Sementara itu, proses penyelesaian perjanjian konsesi jasa kebandarudaraan yang seharusnya disepakati antara PT AP II dengan Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub sejak 2018 masih berlarut-larut hingga saat ini.
Krisis tata kelola diperparah dengan serangkaian tindakan pemborosan dan ketidakpatuhan terhadap prosedur internal. Ditemukan adanya pembayaran premi atas tunjangan Asuransi Purna Jabatan (Aspurjab) tidak sesuai ketentuan, merugikan perusahaan sebesar Rp1,81 miliar. Parahnya, pemberian insentif kerja pada PT AP II dan anak perusahaan tidak mempertimbangkan kondisi kinerja perusahaan yang tengah menghadapi kerugian. Selain itu, terdapat kemahalan harga sebesar Rp4,96 miliar pada pelaksanaan pekerjaan Airport Passenger Processing System (APPS) oleh pihak ketiga, serta temuan kekurangan volume pada tujuh paket pekerjaan senilai Rp2,66 miliar.
BPK juga mencatat bahwa PT AP II harus menanggung pembayaran klaim Tunjangan Hari Tua (THT) Karyawan yang telah pensiun, yang tidak dibayarkan oleh AJB Bumiputera 1992, dengan nilai minimal mencapai Rp134,77 miliar. Kondisi ini diperburuk oleh pembangunan Hotel Integrated Building yang berlarut-larut dan berpotensi tidak dapat diselesaikan sesuai perjanjian.
Hingga berita ini diturunkan, Selasa (25/11/2025), pihak PT Angkasa Pura II belum memberikan konfirmasi resmi atau tanggapan terkait temuan BPK yang sangat meresahkan publik ini. Keheningan manajemen AP II menimbulkan pertanyaan besar mengenai akuntabilitas mereka atas kerugian dan dugaan kegiatan fiktif yang terjadi di bawah pengawasan mereka. (Tim)
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










