
KEBUMEN – Skandal pengelolaan keuangan desa kembali mencuat di Purwodadi, Kuwarasan, Kebumen. Audit dadakan oleh warga mengungkap masalah serius di BUMDes Surya Baru yang macet laporan pertanggungjawaban (LPJ) selama dua tahun, menenggelamkan dana desa (DD) dan Bantuan Provinsi (Banprop) senilai total lebih dari Rp 340 Juta. Ironisnya, sorotan ini sekaligus menjadi rapor merah bagi profesionalitas Kepala Desa dan BPD yang seolah membiarkan kekacauan ini terjadi.
BUMDes Surya Baru, yang berdiri sejak 2018 dan menerima kucuran dana besar, terbukti tidak akuntabel. Pengurus BUMDes mengakui tidak membuat laporan selama dua tahun terakhir dengan alasan klise: bendahara enggan membuat LPJ dan Pemdes Purwodadi tidak pernah serius mengundang atau memaksa mereka untuk melapor.
Fakta ini menunjukkan adanya pembiaran yang sistematis. Alih-alih menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan, Pemdes justru terkesan lepas tangan. Kepala Desa (Kades) memang mengklaim telah mengundang pengurus secara lisan dan tertulis, namun tindakan pasif tersebut gagal membuahkan hasil, membuat warga akhirnya turun tangan.
“Kami sudah mengundang, tapi mereka tidak mau laporan,” dalih Kades. Jawaban ini menggarisbawahi kegagalan kepemimpinan dalam penegakan disiplin keuangan desa.
Krisis ini makin dalam karena fungsi pengawasan internal yang seharusnya diemban oleh BPD nyaris lumpuh. Sebuah fakta aneh terungkap: yang menginisiasi audensi dan mengirim surat tuntutan LPJ justru adalah pengurus BPD sendiri bersama masyarakat.
Ini menunjukkan bahwa BPD baru bertindak setelah masalah membesar dan didorong oleh masyarakat, bukan atas inisiatif dan fungsi pengawasan rutin mereka. Kinerja BPD Purwodadi dipertanyakan: Apa fungsi pengawasan BPD selama dua tahun terakhir? Lembaga yang dibiayai negara untuk mengawasi Pemdes ini terbukti gagal menjalankan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi), menuntut transparansi hanya ketika masalah sudah di ujung tanduk.
Persoalan lain muncul dari program ketahanan pangan tahun 2019, yakni pembelian sapi senilai Rp 134 Juta. Program ini berakhir pahit. Sapi yang digaduhkan kepada warga merugi dan sebagian terkena penyakit, alih-alih memberikan keuntungan. Yang paling disorot adalah sisa dana dari pengaduh yang kini terkumpul Rp 113 Juta. Dana publik sebesar itu diakui Kades hanya “dititipkan” kepadanya karena tidak ada yang berani memegang, dan ia menjamin tidak menggunakan uang tersebut.
Pengakuan ini sangat meresahkan. Pengelolaan dana desa harus profesional dan terintegrasi dalam sistem keuangan desa, bukan menjadi “uang titipan” yang dikuasai oleh Kepala Desa. Mekanisme penyimpanan uang publik yang tidak sesuai prosedur ini rentan menimbulkan praktik penyalahgunaan dan menghilangkan transparansi.
Kades berjanji, dana Rp 113 Juta yang telah dimasukkan ke rekening desa akan segera dikembalikan ke lumbung-lumbung pangan bulan ini. Janji ini harus dikawal ketat oleh Inspektorat dan masyarakat.
Kasus Purwodadi adalah preseden buruk bagi tata kelola keuangan desa. Tugas Kades bukan hanya memfasilitasi pertemuan setelah masalah mencuat, melainkan bertanggung jawab penuh atas pembinaan, pengawasan, dan penegakan disiplin administrasi keuangan BUMDes sejak awal.
Demikian pula BPD, lembaga ini harus kembali ke Tupoksi utamanya: melakukan pengawasan yang ketat dan proaktif, bukan hanya menjadi corong protes masyarakat.
Kini, Inspektorat dan Kecamatan telah mengambil alih kasus ini. Publik menuntut hasil audit yang tuntas, sanksi tegas bagi pengurus BUMDes yang melalaikan tugas, dan yang terpenting: Inspektorat wajib mengevaluasi standar profesionalitas Kepala Desa dan BPD dalam menjalankan peran mereka sebagai pengelola dan pengawas dana publik.
Warga Purwodadi berhak atas akuntabilitas penuh. Kegaduhan ini harus diakhiri dengan penataan ulang sistem pengelolaan dan pengawasan desa yang profesional dan transparan. Jangan biarkan miliaran dana desa menjadi ladang subur bagi praktik non-profesional yang merugikan masyarakat.
Publisher -Red
Reporter CN -Waluyo