
Aceh Singkil, CN-II Proses perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) di Kabupaten Aceh Singkil menuai kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat. Ketidakjelasan informasi, tidak dilibatkannya masyarakat adat dan lokal secara langsung, serta dugaan pengabaian terhadap aspek keadilan dan hukum, menjadi catatan serius yang tak bisa dibiarkan begitu saja.
Alih-alih menjadi momen evaluasi terhadap pengelolaan lahan oleh perusahaan-perusahaan besar, perpanjangan HGU ini justru terkesan dilakukan secara terburu-buru dan tertutup. Kritik datang dari berbagai pihak, mulai dari tokoh masyarakat, LSM, hingga aktivis media sosial dan lingkungan.
Yusnidar Lembong, tokoh masyarakat perempuan dari Rimo, menilai proses ini mengabaikan prinsip dasar dalam pemerintahan yang baik, yakni transparansi dan akuntabilitas. “Kalau hanya jadi formalitas perpanjangan tanpa koreksi atas pelanggaran atau penyimpangan yang ada, ini jelas menciderai kepercayaan publik. Jangan sampai ini hanya untuk kepentingan segelintir elite dan korporasi,” tegasnya.
Tudingan Mafia Tanah dan Penyelundupan Wilayah Sejumlah pihak menduga bahwa di balik proses perpanjangan HGU ini, terdapat indikasi kuat praktik mafia tanah. Hal ini terutama terlihat dari klaim sepihak perusahaan atas lahan masyarakat, tanah adat, bahkan desa administratif, tanpa kejelasan proses pelepasan hak. Salah satu contohnya terjadi di Desa Biskang.
“Desa Biskang diklaim oleh PT. Delima seluas sekitar 900 hektar. Ini bukan angka kecil. Dan kalau tidak dilakukan ukur ulang, bagaimana mungkin bisa diketahui letak sebenarnya? Kalau hanya mengandalkan dokumen lama, maka pelanggaran terus dibiarkan,” ujar ,Ketua DPD-CIC-Aceh Singkil”Khairul
Ia menambahkan bahwa pola kemitraan plasma yang sering dijadikan dalih oleh perusahaan justru menjerat masyarakat. “Plasma itu seolah solusi, tapi di lapangan malah menyulitkan masyarakat untuk merebut kembali haknya. Padahal, tanggung jawab sosial perusahaan semestinya memastikan tanah masyarakat tidak hilang begitu saja,” tambahnya.
Pemerintah Di duga Tidak Netral Dalam proses perpanjangan ini, pemerintah daerah Aceh Singkil dinilai tidak menjalankan fungsinya secara adil. Banyak pihak mempertanyakan mengapa masyarakat sekitar perusahaan tidak dilibatkan dalam rapat dan forum pembahasan penting ini sebelum mengundang tim ahli dari kementrian perkebunan dan pertanian bersama distambun aceh
Aminullah Sagala, tokoh lokal dari Singkil, menyebut bahwa dalam rapat-rapat pembahasan HGU, masyarakat hanya diwakili oleh anggota DPRK. “Ini tidak bisa diterima. Masyarakat yang terdampak langsung harus hadir, bukan hanya diwakili oleh anggota dewan yang belum tentu memahami persoalan di lapangan,” ujarnya dengan nada kecewa.
Anehnya, sambung Aminullah, pihak pemerintah daerah justru lebih mengandalkan ‘tim ahli’ yang diundang untuk menjelaskan seluk-beluk perusahaan. “Lalu, siapa yang menjelaskan hak masyarakat? Siapa yang membela tanah-tanah desa yang sudah dikuasai tanpa izin yang sah?” tanyanya retoris.
Ketua DPD-CIC-Aceh Singkil menegaskan
Kerugian Negara Diduga Tidak Terdeteksi
Lebih jauh-karna tidak di lakukan pengukuran ulang Seluruh HGU yang bermasalah di Aceh Singkil. Karna informasi yang di dengar hanya proses perpanjangan HGU, ini dinilai sebagai celah yang disengaja untuk menutupi potensi pelanggaran dan kerugian negara. “Kalau tidak diukur ulang, bagaimana bisa diketahui apakah HGU itu tumpang tindih dengan tanah masyarakat, tanah konservasi, atau kawasan hutan lindung?
Ia menegaskan bahwa inilah alasan mengapa proses ini harus dikawal secara ketat oleh masyarakat sipil, media, dan lembaga pengawas dan LSM . “Jangan sampai mafia tanah berlindung di balik korporat Ilegal dan Oligarki ” Negara bisa rugi Besar, masyarakat bisa hilang haknya, dan lingkungan rusak tanpa tanggung jawab,” ucapnya.
Pemda dan BPN Membela Diri Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil melalui Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP, Ir. Muhammad Fadli, membantah bahwa proses ini tidak transparan. Ia menegaskan bahwa seluruh prosedur perpanjangan HGU mengikuti ketentuan perundang-undangan.
“Kami komit melibatkan tim ahli dan menyampaikan informasi secara bertahap ke publik. Ini untuk mendukung pengembangan sektor perkebunan yang menjadi tulang punggung ekonomi daerah,” ujarnya.
Sementara itu, dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh Singkil pernah menjelaskan bahwa perpanjangan HGU harus memenuhi syarat hukum dan teknis berdasarkan:
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA),PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,Permen ATR/BPN No. 9 Tahun 2019 tentang perpanjangan HGU,
Regulasi AMDAL dan Lingkungan dari Kementerian LHK.
Namun demikian, argumen ini belum cukup menjawab kritik yang berkembang luas di masyarakat.
Usulan masyarakat Danau Paris Desa Biskang,ini harus naik ke tingkat nasional.
warga Desa Biskang,”Suratman”menyatakan bahwa persoalan ini tidak bisa lagi diselesaikan di tingkat kabupaten. Ia menyarankan agar masyarakat menyurati langsung Presiden, DPR RI, dan Menteri ATR/BPN untuk mengintervensi.
“Kalau masyarakat tidak setuju dengan keputusan Bupati, kita harus sampaikan secara resmi. Ini bukan masalah kecil. Tanah adalah hak hidup masyarakat,” tegasnya.
Antara Legalitas dan Keadilan Kisruh perpanjangan HGU di Aceh Singkil membuka ruang diskusi penting: antara legalitas administratif dan keadilan substantif. Jika proses ini hanya dijalankan atas dasar dokumen dan regulasi tanpa memperhitungkan kondisi sosial, sejarah tanah, dan suara rakyat, maka perpanjangan HGU hanya akan memperdalam ketimpangan dan konflik agraria.
Ke depan, pemerintah dituntut untuk lebih terbuka, melibatkan masyarakat secara nyata, serta menjadikan momen perpanjangan HGU sebagai langkah evaluasi dan koreksi. Tanpa itu, kepercayaan publik akan terus merosot, dan konflik lahan bisa meledak kapan saja.
Catatan Redaksi:
Redaksi membuka ruang bagi pihak perusahaan maupun instansi pemerintah yang ingin memberikan klarifikasi, tanggapan, atau data resmi terkait isu ini, sebagai bentuk keberimbangan informasi.
Red.Masriani