SUMBA BARAT DAYA (SBD) –7 November 2025 – Kebebasan pers di Nusa Tenggara Timur kembali menghadapi tantangan serius menyusul dugaan intimidasi dan ancaman yang dialami dua orang jurnalis saat melaksanakan tugas peliputan. Peristiwa ini melibatkan Kasatreskrim Polres Sumba Barat Daya (SBD) dan terjadi di lokasi pembunuhan di Desa Hoha Wungo, Kodi Utara, pada Kamis, 6 November 2025.
Dua wartawan yang menjadi korban adalah Gunter Guru Ladu Meha dari media TipikorInvestigasi dan Tibo dari Berantastipikornews.co.id. Keduanya tengah mendokumentasikan Tempat Kejadian Perkara (TKP) kasus pembunuhan tersebut.
Menurut keterangan Gunter Guru Ladu Meha, insiden bermula ketika Kasatreskrim Polres SBD yang berada di lokasi menghampiri keduanya dan mempertanyakan dokumentasi yang telah diambil.
– Pemaksaan Penghapusan Data: “Tanpa memberikan alasan yang jelas dan sah secara hukum, Kasatreskrim memerintahkan kami untuk menghapus seluruh foto dan video liputan yang sudah kami ambil,” ujar Gunter.
– Upaya Perampasan Alat Kerja: Penolakan wartawan berujung pada adu mulut dan dugaan upaya paksa untuk merampas ponsel milik Gunter dan Tibo. Ponsel tersebut merupakan alat kerja vital untuk melaksanakan tugas jurnalistik.
– Ancaman Penahanan: Puncak intimidasi terjadi ketika oknum perwira tersebut, menurut kesaksian korban, mengeluarkan perintah kepada anggotanya di lokasi untuk membawa kedua wartawan ke Polsek Kodi Utara. Tindakan ini dinilai sebagai upaya pembungkaman dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Peristiwa ini, yang melibatkan pemaksaan penghapusan data dan upaya perampasan ponsel, diduga kuat merupakan pelanggaran keras terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Organisasi Persatuan Pimpinan Redaksi Indonesia Maju (PRIMA) mengeluarkan kecaman keras atas insiden ini. Hermanius, Pimpinan Redaksi sekaligus Ketua PRIMA, menegaskan bahwa tindakan aparat tersebut melanggar ketentuan hukum.
“Ini bukan sekadar intimidasi biasa, ini adalah bentuk nyata penyalahgunaan wewenang yang merusak marwah institusi Polri. Polisi seharusnya menjadi mitra pers, bukan sebaliknya. Apalagi, TKP adalah ruang publik dan jurnalis memiliki hak untuk meliput sepanjang tidak mengganggu proses penyelidikan yang sah,” tegas Hermanius.
Hermanius menambahkan bahwa tindakan menghapus dokumentasi di lapangan sama dengan penyensoran dan menghambat tugas jurnalistik yang dijamin oleh Pasal 4 ayat (2) UU Pers.
Tindakan menghalang-halangi tugas wartawan dijamin perlindungannya secara pidana oleh Pasal 18 ayat (1) UU Pers No. 40 Tahun 1999, yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi pelaksanaan tugas jurnalistik yang diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Secara kolektif, komunitas jurnalis dan organisasi pers di NTT mendesak Kapolda Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk segera mengambil langkah tegas:
– Usut Tuntas: Melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap dugaan intimidasi dan upaya perampasan alat kerja yang dilakukan oleh Kasatreskrim Polres SBD.
– Tindak Tegas: Memberikan sanksi hukum dan etik yang tegas kepada oknum aparat yang terlibat sesuai dengan peraturan yang berlaku di institusi kepolisian.
– Jamin Keamanan: Memastikan adanya perlindungan mutlak bagi jurnalis yang sedang melaksanakan tugas peliputan di lapangan sebagai implementasi dari jaminan kebebasan pers.
PRIMA menyatakan bahwa kebebasan pers adalah pilar keempat demokrasi yang harus dihormati. Organisasi pers di NTT menanti respons cepat dan transparan dari pimpinan Polda NTT untuk memastikan perlindungan profesi wartawan di wilayah hukum mereka.
Publisher -Red
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










