LAHAT, SUMATERA SELATAN – 26 Oktober 2025. Sebuah skandal korupsi Dana Desa (DD) yang diduga terstruktur dan berlapis di Desa Lubuk Layang Ilir, Kabupaten Lahat, bukan hanya mengungkap kerugian negara sebesar Rp 5,4 Miliar angka fantastis untuk desa berstatus TERTINGGAL (2021-2023) namun juga menyoroti kelemahan dan kemandekan penegakan hukum lokal.
Dugaan kejahatan ini diyakini sebagai perampokan sistematis yang dimungkinkan oleh pemalsuan tanda tangan pada dokumen negara dan diperparah oleh upaya perintangan penyidikan (Obstruction of Justice). Ironisnya, alih-alih bergerak cepat, proses hukum di tingkat Polres Lahat justru dilaporkan mandek, memicu desakan publik agar Polda Sumsel dan Kejaksaan segera mengambil alih kasus ini.
Berdasarkan Bukti Audit Digital (BAD-01) yang mencakup delapan tahun anggaran, modus operandi yang terkuak menunjukkan perencanaan yang matang, bukan sekadar kesalahan administrasi:
– Manipulasi Administrasi sebagai Pintu Korupsi: Inti kejahatan adalah dugaan pemalsuan tanda tangan Sekretaris Desa (Sekdes), Sdr. M, yang juga menjabat PPKD (pengelola keuangan), pada seluruh Laporan Pertanggungjawaban (LPJ). Ini mengindikasikan upaya sistematis untuk melumpuhkan fungsi kontrol internal desa dan memastikan aliran dana korupsi berjalan mulus tanpa persetujuan resmi.
– Dugaan Proyek Fiktif dan Markup Gila-gilaan, Rp 1,12 Miliar ludes untuk Proyek Sumur Bor (2019-2024) yang dilaporkan mangkrak dan tidak berfungsi.
– Anggaran Sumur Bor tahun 2019 mencapai Rp 360,4 Juta—sebuah angka markup ekstrem yang patut dipertanyakan kewajaran harga barang dan jasa (HPS) di desa tersebut.
– Anggaran Rp 87,4 Juta (2024) untuk proyek ‘Karamba Perikanan Darat’ diklaim sebagai proyek fiktif, murni di atas kertas.
Kasus ini diperparah dengan dugaan Obstruction of Justice. Keterangan Saksi Kunci (SK-01) menyebut Kades meremehkan proses hukum dan berniat menyuap pihak terkait untuk menghentikan penyelidikan.
“Angka kerugian sebesar Rp 5,4 Miliar merupakan pukulan telak bagi asas keadilan sosial. Ini melampaui batas kesalahan administrasi; ini adalah dugaan perampokan sistematis terhadap hak-hak dasar masyarakat miskin. Aparat hukum harus bertindak cepat dan transparan,” tegas Ali Sopyan, Ketua Relawan Rambo Sumatera Selatan.
“Sikap meremehkan hukum dengan asumsi bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan dengan uang menunjukkan degradasi etika kepemimpinan publik. Upaya suap dan perintangan penyidikan adalah tindak pidana berlapis yang memerlukan penegakan hukum maksimal. Aparat harus membuktikan bahwa hukum tidak bisa dibeli,” tambah Ali Sopyan.
Minimnya progres dan lambatnya tindak lanjut pasca-klarifikasi oleh Polres Lahat memicu pertanyaan krusial tentang objektivitas dan kecepatan proses penyidikan lokal. Masyarakat berhak curiga, apakah penegakan hukum di Lahat memiliki kapasitas atau keberanian untuk membongkar jaringan kejahatan yang sedemikian terstruktur.
Menyikapi kebuntuan ini, Ali Sopyan mendesak intervensi segera dari penegak hukum yang lebih tinggi:
– Pengambilalihan dan Audit Forensik Total oleh Polda/Kejati: Kasus ini harus segera diambil alih oleh Polda Sumsel (Tipikor) dan Kejaksaan Tinggi/Negeri Lahat untuk menjamin independensi. Harus dilakukan Audit Forensik Total untuk membongkar jejak digital dan membandingkannya dengan LPJ fisik yang diduga palsu.
– Penahanan Mendesak: Mengingat kuatnya bukti Tipikor, Pemalsuan Dokumen Negara, dan upaya Obstruction of Justice, Kades harus segera ditahan untuk menghentikan potensi intervensi, intimidasi saksi, dan pembongkaran jaringan “kelompok tertentu” yang diindikasikan terlibat.
– Perlindungan Saksi Kunci: Perlindungan segera harus diberikan kepada Sdr. M (Sekdes/PPKD) dan istrinya (SK-01) untuk menjamin keselamatan dan keterangan mereka.
Kasus Desa Lubuk Layang Ilir bukan lagi sekadar kasus korupsi, melainkan indikator serius tentang rapuhnya pengawasan Dana Desa dan ujian nyata bagi kredibilitas penegakan hukum di Sumatera Selatan. Rakyat miskin di desa tertinggal ini menunggu keadilan yang cepat, transparan, dan tidak bisa dibeli.
(Redaksi)





