
PARIGI, Sulteng— 11 Oktober 2025-Keadilan di Desa Malakosa, Kecamatan Balinggi, Kabupaten Parigi Moutong, dipertanyakan menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) terkait sengketa tanah yang diduga mengabaikan bukti-bukti otentik dan tidak sesuai dengan objek lahan yang disengketakan. Kasus ini melibatkan hak atas tanah adat seluas kurang lebih 8 Ha, yang kini terancam oleh penerbitan sertifikat ganda oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Sardin Monoarfa, warga yang mengklaim sebagai pemilik sah, dengan geram menyatakan bahwa putusan kasasi MA bernomor 3766 K/Pdt/2021 tanggal 22 Desember 2021, adalah “cacat objek” dan “jauh panggang dari api” keadilan. Putusan tersebut, menurutnya, tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan, baik dari letak, batas-batas, maupun status kepemilikan sah atas tanah yang telah dikelola keluarganya sejak puluhan tahun silam.
Tanah sengketa ini berawal dari penyerahan tanah rawa pantai (Tanah Adat) seluas \pm 8 Ha oleh Kepala Adat Desa Malakosa, Ahmad Koroma, pada 11 Juni 1978 untuk dijadikan empang. Lahan ini kemudian dibagi dan diberikan kepada Sardin Monoarfa dan Jumadil S. Monoarfa pada 28 April 1990. Batas-batasnya jelas tertera: Timur berbatasan dengan Sa Eno; Barat dengan tanah areal masyarakat; Utara dengan tanah Abosani; dan Selatan dengan tanah areal masyarakat. Surat kepemilikan tersebut disahkan oleh Kepala Desa Malakosa dan diketahui oleh Bihul.L.
“Kami mengelola tanah ini secara turun-temurun, ada suratnya, ada saksi adatnya. Tiba-tiba, pada tahun 1999, muncul 5 (lima) sertifikat HGB/SHM siluman bernomor 1143, 1144, 1145, 1146, dan 1147, yang diterbitkan oleh BPN atas nama H. Hamzah,” ungkap Sardin dengan nada tinggi. Kejanggalan BPN dalam menerbitkan sertifikat di atas lahan yang sudah dikuasai secara fisik dan memiliki surat alas hak yang sah ini menjadi sorotan tajam.
Sardin Monoarfa menegaskan bahwa inti masalah terletak pada ketidaksesuaian yang fundamental antara isi putusan dengan fakta lapangan.
“Putusan kasasi itu tidak memuat objek tanah yang sebenarnya! Ini bukan sekadar salah ketik, tapi kesalahan fatal yang berbau maladministrasi hukum. Apakah hakim MA tidak melakukan verifikasi data dan batas-batas lahan? Apakah BPN setempat tutup mata dan tidak berani mengakui kesalahannya?” kecam Sardin.
Langkah hukum yang seharusnya menjadi penentu kebenaran justru dinilai sebagai alat pembenaran praktik mafia tanah yang memanfaatkan celah birokrasi dan kelemahan sistem peradilan.
Situasi ini bukan hanya merugikan pemilik sah, tetapi juga secara serius berpotensi memicu konflik horizontal di masyarakat Desa Malakosa.
“Sengketa tanah seperti ini adalah bom waktu yang siap meledak menjadi ketegangan sosial. Jika putusan yang cacat ini tetap dipaksakan implementasinya oleh Pengadilan Negeri dan BPN, maka tanggung jawab kekacauan di lapangan ada pada institusi tersebut,” pungkasnya dengan nada mengancam.
Sardin Monoarfa mendesak:
– Mahkamah Agung (MA) harus segera meninjau kembali putusan kasasi 3766 K/Pdt/2021 yang dinilai tidak adil dan tidak berdasarkan objek.
– BPN Kabupaten Parigi Moutong harus berani mengklarifikasi dan membatalkan 5 sertifikat ganda yang tumpang tindih dengan hak rakyat.
– Presiden RI dan Menko Polhukam diminta turun tangan untuk mengaudit kinerja peradilan dan BPN di daerah tersebut, guna memberantas praktik mafia tanah yang berlindung di balik payung hukum.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi supremasi hukum di Indonesia, yang gagal memberikan perlindungan hak atas tanah kepada rakyat kecil.
#Kejagung-RI
#Mahkamah Agung -Ri
-KPK-RI
#PRESIDEN-RI
Publisher -Red
Reporter CN -Nakir