JAKARTA – 25 November 2025- Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengupas tuntas dugaan kasus korupsi terkait tata kelola penjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar industri oleh PT Pertamina Patra Niaga. Dalam penyidikan yang telah menjaring 18 tersangka, titik fokus kini beralih pada kejanggalan diskon besar yang diberikan kepada salah satu pelanggan utama, PT Adaro.
Kasus ini menyoroti praktik pemberian harga spesial yang dipertanyakan kewajaran dan transparansinya, di tengah sorotan publik terhadap potensi kerugian keuangan negara.
Pemeriksaan terhadap sejumlah saksi, termasuk Direktur PT Adaro, telah membuka tabir hubungan dagang yang berlangsung sejak lama. PT Adaro, melalui perusahaan pemegang sahamnya (termasuk milik Garibaldi Thohir), adalah pembeli BBM solar industri jangka panjang dari PT Pertamina Patra Niaga untuk keperluan operasional tambang.
Berdasarkan data, PT Adaro rutin membeli solar industri dengan volume masif, yakni sekitar 500.000 hingga 600.000 kiloliter (KL) per tahun sejak 2018. Kontrak pembelian ini sendiri berlaku selama sepuluh tahun sejak Mei 2015.
Poin krusial dalam penyelidikan adalah perbedaan persentase diskon yang diterima PT Adaro. Diskon yang dinikmati Adaro mencapai 45 hingga 55 persen, jauh melampaui diskon yang biasa diberikan kepada pembeli volume besar lainnya, yang umumnya berada di kisaran 22 hingga 32 persen untuk pembelian tunai.
Kapuspenkum Kejagung saat itu merinci kejanggalan harga yang diterima Adaro pada tahun 2021:
“Volume pembelian Adaro pada 2021 mencapai 521.540 KL. Sementara harga solar industri normal di pasaran saat itu berkisar Rp 12.000 per liter, PT Adaro diduga hanya membayar Rp 6.000 per liter,” ujarnya.
Angka Rp 6.000 per liter ini menjadi sorotan tajam karena jauh di bawah harga jual solar bersubsidi kepada masyarakat yang saat itu mencapai Rp 9.700 per liter. Kewenangan diskon sebesar ini disebut berada di tangan pucuk pimpinan PT Pertamina Patra Niaga dan memerlukan persetujuan dari Direktur Utama PT Pertamina (Induk).
Dalam sidang dugaan korupsi PT Pertamina Patra Niaga, mantan Direktur Utama Patra Niaga, Alfian Nasution, memberikan pembelaan terkait diskon tersebut, menyatakan bahwa hal itu dilakukan sebagai strategi.
“Adanya rencana kompetitor, yaitu Exxon, yang akan masuk sebagai supplier ke Adaro, dikhawatirkan akan membuat efek negatif terhadap market PT Pertamina di wilayah Kalimantan,” demikian jaksa membacakan BAP Alfian.
Keterangan ini menguatkan dugaan bahwa diskon fantastis tersebut adalah manuver bisnis ekstrem untuk mempertahankan pelanggan strategis, namun kini praktik tersebut dipertanyakan apakah melanggar aturan dan berujung pada kerugian negara.
Menanggapi fakta-fakta yang diungkap, Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (K MAKI) melancarkan kritik pedas dan tuntutan keras kepada penegak hukum. K MAKI menilai, PT Adaro tidak bisa dilepaskan dari jerat hukum atas kebijakan diskon yang merugikan Pertamina.
“Sudah seharusnya PT Adaro ditetapkan selaku terpidana Corporate Crime terkait penetapan Eks Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga periode 2023-2025 selaku terdakwa di persidangan,” tegas Deputy K MAKI, Ir. Feri Kurniawan.
Feri bahkan menghitung potensi kerugian negara yang ditimbulkan dari diskon “ajaib” ini. Dengan selisih harga yang dihitung dari harga solar subsidi (Rp 3.700 per liter), ia memperkirakan keuntungan yang diperoleh PT Adaro dari kebijakan ini patut diduga mencapai Rp 12 triliun sejak tahun 2018.
“Pertanyaannya, keuntungan triliunan yang diperoleh dari fasilitas negara ini, apakah murni strategi bisnis, ataukah sebuah kejahatan korporasi yang terstruktur?” tutup Feri, mendesak Kejagung untuk segera menetapkan PT Adaro sebagai terduga pelaku corporate crime dalam perkara ini.
Publisher -Red
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










