KEBUMEN – 24 Desember 2025- Program Satuan Pelayanan Makanan Bergizi (SPMB) di Desa Plumbon, Kecamatan Karangsambung, yang seharusnya menjadi mercusuar kesehatan publik, kini justru terperosok dalam polemik lingkungan yang serius. Aktivitas produksi masif di wilayah tersebut dituding menjadi dalang rusaknya ekosistem pertanian warga akibat manajemen limbah yang diduga kuat serampangan dan melanggar aturan.
Hasil pantauan tim di lapangan mengungkap pemandangan ironis. Di sepanjang jalur pembuangan air sisa produksi, hamparan padi milik warga yang seharusnya menghijau kini tampak menguning, layu, hingga terancam puso (gagal panen). Kerusakan ini terjadi secara linier, mengikuti aliran air dari area produksi sebuah indikasi teknis adanya cemaran sisa produksi yang tidak terolah sempurna.
Upaya transparansi publik sempat diwarnai ketegangan ketika oknum pengelola mencoba menghalang-halangi kerja jurnalistik.
“Kenapa ambil gambar tidak izin dulu? Izin ke pemilik!” cetus oknum tersebut dengan nada intimidatif. Sikap defensif ini justru memicu kecurigaan publik: apa yang sebenarnya sedang disembunyikan di balik tembok fasilitas tersebut?
Pemilik usaha, Pak Haji, membantah keras tudingan pencemaran tersebut. Ia melontarkan pembelaan yang dinilai publik tidak masuk akal dengan menyebut fenomena padi menguning disebabkan oleh kondisi geologis tanah.
“Itu kuning karena tanahnya terlalu gembur. Kami sudah memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dan sudah melapor ke Lingkungan Hidup,” klaimnya saat dikonfirmasi.
Namun, pengakuan petani justru berbanding terbalik. Di bawah bayang-bayang ketakutan untuk bersuara, seorang warga mengungkapkan bahwa keluhan mereka selama ini hanya berakhir di tong sampah birokrasi. “Kami mendukung program gizi ini, tapi jangan memberi gizi dengan cara meracuni sawah kami,” keluhnya lirih.
Tabir gelap pengelolaan limbah ini semakin terkuak saat dikonfirmasi ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Kebumen. Terjadi drama “pingpong” birokrasi yang memalukan. Kepala UPTD DLH, Dani Fitriyadi, memberikan keterangan mengejutkan bahwa pihak pengelola Plumbon hanya berkoordinasi terkait sampah domestik, bukan limbah cair sisa produksi yang jauh lebih berbahaya.
Lebih mencengangkan lagi, Dani menyebut bahwa hampir seluruh unit makanan bergizi di Kebumen ditengarai belum melaporkan atau mengurus izin terkait limbah produksinya. Fakta ini adalah skandal besar sekaligus “bom waktu” bagi lingkungan hidup di Kebumen.
Bagaimana mungkin unit produksi massal diizinkan beroperasi tanpa pengawasan limbah yang jelas? Ini bukan sekadar kelalaian administrasi, melainkan maladministrasi sistemik yang mengorbankan rakyat kecil.
Absennya pelaporan limbah cair ke instansi terkait menjadikan IPAL yang diklaim pengelola patut dipertanyakan fungsinya. Tanpa uji baku mutu yang transparan, IPAL tersebut hanyalah “siluman” untuk memenuhi syarat formalitas tanpa fungsi ekologis. Masyarakat kini menuntut tindakan tegas sesuai UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, di mana pembuangan limbah tanpa standar baku mutu diancam pidana penjara 3 tahun dan denda Rp3 miliar.
Masyarakat mendesak Pemerintah Kabupaten Kebumen untuk:
– Uji Lab Independen: Melakukan sampling air dan tanah secara terbuka tanpa campur tangan pengelola.
– Moratorium Operasional: Menghentikan aktivitas produksi sementara hingga sistem IPAL dinyatakan laik secara teknis dan hukum.
– Audit Menyeluruh: Memeriksa seluruh unit MBG di Kebumen yang diduga kuat beroperasi “gelap” tanpa izin limbah.
– Ganti Rugi Total: Memberikan kompensasi atas gagal panen yang diderita petani.
Program makanan bergizi adalah kemajuan, namun jika ia berdiri di atas penderitaan petani dan kehancuran alam, maka program ini telah kehilangan roh kemanusiaannya. DLH Kebumen tidak boleh hanya menjadi “stempel” birokrasi; mereka harus bertindak sebagai benteng terakhir lingkungan hidup sebelum alam melakukan pembalasannya.
Publisher -Red
Reporter CN -Waluyo
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.











