
TANGERANG – Keputusan Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Tangerang menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan lahan RSUD Tigaraksa menjadi sorotan tajam. Langkah ini bukan sekadar keputusan hukum biasa, melainkan sebuah skandal politik-hukum yang menunjukkan ketidakselarasan antara dua lembaga negara: Kejaksaan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Kerugian Negara Dianggap ‘Bukan Kejahatan’. Publik dibuat bingung oleh argumentasi aneh yang disampaikan oleh Kejari Tangerang. Di satu sisi, laporan BPK dengan jelas menemukan kerugian negara Rp26,4 miliar akibat pengadaan lahan yang tidak profesional—adanya pembelian berlebihan, tumpang tindih, dan bahkan sertifikat yang sudah kedaluwarsa. Ini semua merupakan indikasi kuat adanya penyalahgunaan wewenang.
Namun, di sisi lain, Kejari justru mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dengan alasan ‘tidak cukup bukti’ dan ‘tidak ada niat jahat’. Pernyataan ini ibarat menihilkan kerja keras BPK. Seolah-olah, uang negara yang hilang puluhan miliar rupiah adalah kesalahan yang tidak disengaja dan tidak perlu dipertanggungjawabkan secara hukum.
Menantang Integritas Lembaga Hukum, keputusan Kejari ini memunculkan pertanyaan kritis: Apakah ini murni ketidakmampuan penyidik dalam mengumpulkan bukti, atau ada faktor lain yang lebih dalam?. Jika benar penyidik tidak mampu menemukan bukti yang justru saat ini sudah dibeberkan BPK, maka integritas dan profesionalisme tim Kejari patut dipertanyakan.
Mengingat jumlah kerugian yang fantastis, publik mencurigai adanya intervensi dari ‘pihak berkuasa’ yang ingin kasus ini dikubur. Ini bukan sekadar kasus hukum, melainkan sebuah manuver politik untuk melindungi pejabat atau pengusaha yang terlibat.
Keputusan SP3 ini mengirimkan sinyal berbahaya bahwa dengan ‘strategi’ yang tepat, kasus korupsi senilai puluhan miliar rupiah bisa ‘lenyap’ begitu saja. Ini adalah pukulan telak bagi kepercayaan publik terhadap sistem penegakan hukum, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas korupsi.
Harapan baru di tangan Lembaga lain, meski Kejari telah menutup kasus ini, jalan masih terbuka. Laporan BPK yang kredibel bisa menjadi dasar bagi lembaga lain, seperti Kepolisian atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk mengambil alih dan membuka kembali penyidikan.
“Bola panas kasus RSUD Tigaraksa kini berada di tangan lembaga penegak hukum yang lain. Akankah ada lembaga yang berani membongkar tabir gelap di balik ‘SP3 aneh’ ini dan mengembalikan uang rakyat yang hilang?, ujar Aktivis di masyarakat, Selasa 19 /8/2025]
BPK telah secara konkret menghitung kerugian finansial, yaitu Rp26,4 miliar. Dalam kasus korupsi, temuan kerugian negara adalah salah satu unsur penting. Mengapa Kejari menganggap tidak ada niat melawan hukum ketika ada temuan kerugian negara yang jelas?
Potensi “Blunder” dan Isu Integritas Hukum. Pengeluaran SP3 ini dapat dianggap sebagai blunder yang tidak hanya menghambat penegakan hukum, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi kejaksaan. Beragam pertanyaan, apakah ada kemungkinan intervensi eksternal atau faktor lain yang menyebabkan penyidikan dihentikan, meskipun bukti-bukti yang mengarah pada tindak pidana sudah ada.
Keputusan ini mengirimkan sinyal negatif bahwa kasus korupsi yang memiliki bukti kuat dari lembaga sekelas BPK bisa berhenti begitu saja. Hal ini berpotensi merusak citra penegak hukum di mata masyarakat dan menciptakan rasa ketidakadilan.
Temuan BPK dan keputusan Kejari menciptakan celah hukum yang harus direspons. Pihak-pihak yang peduli atau bahkan lembaga lain seperti Kepolisian atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat mengambil alih kasus ini, mengingat adanya temuan BPK yang kredibel.
Laporan BPK bisa menjadi dasar untuk membuka kembali penyidikan. BPK juga bisa mengambil langkah lebih lanjut, seperti melaporkan temuan ini secara langsung ke lembaga penegak hukum yang lebih tinggi, untuk memastikan kasus ini tidak mati di tengah jalan.
Secara tajam dan luas, kasus ini bukan lagi sekadar dugaan korupsi, tetapi juga mencerminkan adanya ketidakselarasan antara lembaga negara dan menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas dan independensi Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi.*Red