
ACEH SINGKIL , 10 Oktober 2025– Pernyataan Bupati Aceh Singkil, Safriadi Oyon, yang mengklaim bahwa persoalan Hak Guna Usaha (HGU) di wilayah tersebut telah “selesai” memicu reaksi keras dan kritik tajam dari berbagai pihak. Tokoh masyarakat, aktivis agraria, dan perwakilan warga menilai klaim tersebut prematur, sepihak, dan bertolak belakang dengan fakta konkret di lapangan.
Lembaga Community Information Center (DPD-CIC) Aceh Singkil dengan tegas menyatakan bahwa klaim penyelesaian itu hanyalah janji kosong belaka, mengingat kewajiban utama perusahaan terutama terkait masyarakat belum tuntas sehelai pun.
Dalam rapat koordinasi yang digelar pemerintah daerah, Bupati Safriadi Oyon menyebut pihak perusahaan perkebunan besar telah sepakat menyelesaikan kewajiban, termasuk lahan dan kontribusi sosial. Namun, Ketua DPD-CIC Aceh Singkil, yang enggan disebutkan namanya untuk menghindari intimidasi, menolak keras klaim tersebut.
“Kami menolak keras klaim sepihak yang menyebut masalah HGU sudah selesai! Tanah masyarakat adat, tanah kelompok, tanah desa, hingga tanah perorangan belum dikembalikan. Kewajiban plasma 20% itu mutlak, bukan cuma janji, tapi hingga hari ini pun belum dilaksanakan. Ini fakta, bukan asumsi yang bisa diabaikan,” tegas Ketua DPD-CIC Gunung Meriah pada Kamis (9/10/2025).
Isu yang menjadi sorotan paling tajam adalah kegagalan perusahaan perkebunan sawit, termasuk PT Nafasindo dan PT Delima Makmur, untuk merealisasikan kebun plasma 20% yang merupakan amanat regulasi.
Masriani, perwakilan warga dari Danau Paris, mempertanyakan dasar hukum perpanjangan izin bagi perusahaan yang jelas-jelas mangkir dari kewajiban utama tersebut. “Bagaimana mungkin izin perusahaan diperpanjang? Kebun plasma dan HGU itu satu kesatuan, sinergi yang tak terpisahkan. Jika kewajiban plasma tidak dijalankan, izin perusahaan semestinya tidak bisa diperpanjang!” tegasnya.
Sementara itu, Aminullah Sagala, seorang tokoh masyarakat, menambahkan kritik pedasnya mengenai pemanfaatan sumber daya alam.
“Perusahaan hanya menikmati hasil bumi Aceh Singkil, mengeruk keuntungan besar, tapi buta terhadap kewajiban sosial dan lingkungan. Mereka jangan hanya menikmati hasil, tapi lupa rakyat di sekitar hanya gigit jari,” kata Aminullah.
Ia juga mendesak agar lahan HGU yang terbukti ditelantarkan dalam waktu lama segera ditarik dan dikembalikan kepada negara atau dialihkan pengelolaannya kepada masyarakat untuk dikelola secara produktif.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan aktivis agraria mendesak agar Pemerintah Kabupaten segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) independen untuk melakukan pengukuran ulang total atas seluruh lahan HGU di Aceh Singkil.
“Satgas ini harus independen, melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga hukum yang kredibel. Tanpa Satgas yang transparan, mustahil proses penyelesaian ini adil dan terbuka. Kami mencurigai adanya upaya manipulasi data,” ujar Zulfadli, Ketua LSM Perintis yang berfokus pada isu agraria.
Pihaknya juga menuntut agar semua data peta HGU, dokumen perizinan, dan laporan kontribusi perusahaan terhadap masyarakat dipublikasikan secara transparan untuk mencegah konflik di masa depan.
Menanggapi polemik ini, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Singkil menyatakan bahwa pihak legislatif belum mengeluarkan tanggapan resmi karena persoalan HGU saat ini “masih dalam kajian dan akan dilihat perkembangannya secara menyeluruh.”
Pernyataan ini sontak menuai tanda tanya besar dari publik, sebab DPRK dinilai lamban dan terkesan mengulur waktu dalam merespons persoalan yang menyentuh langsung kepentingan fundamental rakyat banyak.
Sejumlah warga dari Desa Lae Butar, Tanah Bara, dan empat desa di Kecamatan Danau Paris mendesak keras pemerintah untuk menghentikan sementara proses perpanjangan HGU bagi perusahaan yang belum memenuhi tanggung jawabnya secara nyata.
“Jangan buru-buru perpanjang HGU. Rakyat masih menunggu realisasi janji dan keadilan. Kami ingin hak kami diakui dan dihormati, bukan sekadar diiming-imingi janji pepesan kosong di ruang rapat,” ujar Syarifah, salah seorang perwakilan warga Lae Butar.
Meskipun Bupati Safriadi Oyon berkeras mengklaim sengketa HGU telah berakhir, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kewajiban plasma nol, pengembalian tanah adat dan perorangan belum terlaksana, serta proses penyelesaian yang tidak melibatkan partisipasi maksimal dari masyarakat terdampak.
Masyarakat menuntut tindakan nyata dan keberanian politik dari Bupati terpilih Safriadi Oyon. Mereka ingin melihat perubahan yang dapat secara signifikan mengurangi angka kemiskinan di Aceh Singkil, terutama bagi warga yang hidup bersebelahan dengan perkebunan raksasa, bukan sekadar janji manis.
“Jangan bungkam suara rakyat dengan kalimat ‘sudah selesai’. Kami di sini, hidup di atas tanah yang menjadi konflik. Biarkan suara kami didengar, bukan diabaikan oleh klaim sepihak,” tutup Ustaz Rabudin dengan nada geram.
Publisher -Red
Reporter CN – Msri/Tim