
Musi Rawas, 11 Juli 2025– Sebuah praktik kotor penjualan pupuk subsidi di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) terkuak di Desa Temuan Jaya, Kecamatan Muara Kelingi, Kabupaten Musi Rawas, mencoreng janji ketahanan pangan nasional. Dugaan kuat mengarah pada keberadaan “mafia pupuk” yang beroperasi secara sistematis, memeras keringat petani. Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Maju Jaya, Sutardi, bersama empat ketua kelompok tani lainnya, tak gentar menyuarakan jeritan hati mereka dengan menandatangani surat pernyataan dan pengaduan bermaterai, siap menyeret para pelaku ke meja hijau.
Mereka dipaksa menebus pupuk subsidi jenis Ponska dan Urea dengan harga gila-gilaan, mencapai Rp185.000 hingga Rp200.000 per sak, jauh di atas HET yang ditetapkan pemerintah. Ironisnya, pembelian ini terpusat di Kios Pupuk Subsidi NR. Maju Bersama, yang secara mengejutkan diduga dimiliki oleh Nasrun, seorang anggota DPRD Kabupaten Musi Rawas. Keterlibatan seorang wakil rakyat dalam praktik yang merugikan petani ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas dan akuntabilitas.
Ketika Presiden Prabowo gencar menggaungkan program ketahanan pangan untuk menyejahterakan petani, realitas pahit justru menimpa petani di Desa Temuan Jaya. Mereka harus mengeluarkan biaya selangit untuk pupuk, yang seharusnya terjangkau, demi kelangsungan hidup dan hasil panen.
Berikut adalah kesaksian para korban yang tercatat dalam surat pernyataan bermaterai:
* Dedi Siswanto, Ketua Kelompok Tani Suka Maju, dipaksa membayar Rp200.000 untuk pupuk Ponska dan Urea.
* Anton Subandi, Ketua Kelompok Tani Sumber Rejeki, Desa Temuan Jaya, Dusun 7 Blok B, dengan harga Rp185.000.
* Tukijan, Ketua Kelompok Tani Rahayu Tani, Desa Temuan Jaya Blok C Dusun 3, juga menebus dengan harga Rp185.000.
* Sentiman, Ketua Kelompok Tani Suka Mulya, turut menjadi korban penjualan pupuk di atas HET.
Harga-harga ini bukan sekadar membebani, melainkan mencekik leher petani, mengancam keberlangsungan mata pencaharian mereka. Para petani menuntut agar Pemerintah, lembaga penegak hukum, dan instansi terkait bertindak cepat dan tegas memberantas “mafia pupuk” ini tanpa pandang bulu, tidak terkecuali para pejabat atau pengusaha yang memanfaatkan kelangkaan dan kebutuhan petani untuk memperkaya diri.
Reaksi dari Dinas Pertanian Kabupaten Musi Rawas justru semakin memperkeruh suasana. Saat dimintai konfirmasi, Novita, Kasi Pupuk dan Alsintan Dinas Pertanian Kabupaten Musi Rawas, dengan entengnya berdalih, “mungkin mereka tidak terdaftar di dalam RDKK.” Pernyataan ini sangat meragukan, mengingat para pelapor adalah ketua Gapoktan dan kelompok tani yang notabene adalah ujung tombak pertanian dan seharusnya tercatat dalam RDKK. Jika tidak terdaftar, bagaimana bisa mereka membeli pupuk dalam jumlah besar secara terus-menerus? Apakah ada celah ilegal yang disengaja?
Puncaknya, ketika awak media menyampaikan rencana untuk melaporkan kasus ini ke Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya Polda Sumatera Selatan, Novita dengan enteng dan terkesan menantang menjawab, “silakan bawa ke mana.” Sikap ini bukan hanya menunjukkan arogansi, melainkan juga memicu dugaan serius adanya pembiaran sistematis atau bahkan perlindungan terhadap jaringan mafia pupuk yang beroperasi di wilayah Muara Kelingi.
Respons Dinas Pertanian yang defensif dan cenderung menantang ini mengindikasikan adanya keengganan untuk mengawasi dan menindak penyimpangan distribusi pupuk. Akibatnya, distributor dan pengecer, termasuk yang diduga terafiliasi dengan anggota legislatif, leluasa menjual pupuk di atas HET. Para petani dan publik kini menanti, apakah kasus ini akan menjadi bukti nyata komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi dan perlindungan rakyat kecil, atau hanya akan menjadi babak baru dari skandal yang tak tersentuh hukum?
Publisher -Red
Reporter CN- Wardani