Cilacap – 12 November 2025 – Proyek revitalisasi Pasar Kroya di Kabupaten Cilacap, yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp67 miliar, kini menjadi monumen nyata kegagalan tata kelola pemerintahan dan pengawasan negara. Setelah empat tahun pedagang merana di pasar darurat, proyek ini resmi terhenti di angka 49%, memuntahkan kerugian finansial total Rp12 miliar yang ditanggung pahit oleh vendor lokal.
Tragedi Kroya secara telanjang mengungkap bobroknya sistem tender nasional. Bagaimana mungkin proyek vital senilai puluhan miliar diserahkan kepada PT Lince Romauli Raya, sebuah perusahaan yang memiliki rekam jejak kelam sebagai “Spesialis Mangkrak” dan pernah di-blacklist oleh Kementerian Perhubungan dalam kasus ambruknya hanggar pesawat?
Proyek ini telah resmi diputus kontrak sejak 27 Agustus 2025. Namun, kerusakan reputasi dan kerugian riil telah terjadi. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pemerintah Pusat adalah: Apakah proses due diligence (uji tuntas) hanya sekadar formalitas? Atau, apakah ada ‘restu’ di balik layar yang menutup mata terhadap jejak busuk kontraktor ini?
“Aroma pidana dalam proyek pasar ini sangat luar biasa, termasuk pemalsuan dokumen,” teriak salah satu perwakilan vendor.
Vendor menuding PT Lince Romauli Raya adalah “spekulator” yang hanya memburu proyek tanpa modal memadai. Puncaknya, PT Lince secara memalukan mangkir dari audiensi yang diagendakan hari ini, Rabu, 12 November 2025, sebuah tindakan yang digambarkan sebagai pelecehan terhadap hak-hak sipil vendor dan menunjukkan sikap melarikan diri dari tanggung jawab.
Saat BPKP melakukan audit untuk menghitung sisa kerugian, Ketua GRIB Jaya Kabupaten Cilacap, Gatot Aji Suseno, S.H., tidak hanya menuntut penyelesaian, tetapi juga mendesak pemerintah merujuk pada solusi konkret dan jalur hukum yang berlaku.
Gatot Aji dan vendor mendesak para pejabat terkait di tingkat pusat dan daerah untuk:
– Bertindak Tegas Sesuai UU: Menyelesaikan kasus wanprestasi ini dengan merujuk secara tegas pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi serta Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 (tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah), yang mengatur sanksi berat hingga pidana bagi kontraktor bermasalah.
– Menetapkan Tanggung Jawab Keuangan Negara: Mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 59 Ayat (2), yang mewajibkan pejabat yang karena kelalaiannya merugikan keuangan negara untuk mengganti kerugian tersebut. Ini harus diterapkan jika terbukti ada kelalaian fatal dalam pengawasan lelang dan pelaksanaan oleh PPK.
– Mengoptimalkan Jalur Hukum Non-Litigasi: Segera mengupayakan penyelesaian sengketa melalui jalur alternatif seperti Mediasi atau Arbitrase Konstruksi untuk mempercepat pembayaran hak vendor, bukan sekadar menunggu proses audit yang berlarut-larut.
– Menindaklanjuti Pidana: Tidak hanya memutus kontrak, tetapi juga segera menyerahkan bukti dugaan pemalsuan dokumen dan kerugian negara kepada Kejaksaan atau Kepolisian, mengikuti jejak kasus proyek mangkrak APBN lain di Indonesia yang sudah masuk ranah pidana.
“Kami mendesak negara berhenti menutupi potensi pidana yang melibatkan PT Lince, dan segera memastikan pembayaran Rp12 Miliar diselesaikan. Pasar itu merupakan pusat layanan publik, sehingga jangan sampai dalam renovasinya justru hanya menguntungkan segelintir elite dan merugikan masyarakat luas!”
Kini, bola panas ada di tangan Pemerintah. Sudah saatnya Kroya menjadi momentum pembersihan sistem tender dan pembuktian bahwa negara serius menjamin keamanan APBN, bukan membiarkan dana rakyat menjadi bancakan para “spekulator” berlabel perusahaan.
Hingga berita ini di terbitkan PT Lince Romauli Raya belum menunjukkan niat baik untuk memberikan konfirmasi atau pertanggungjawaban.
Redaksi juga memberikan ruang untuk hak jawab kepada semua pihak
#KPK RI
#BPK RI
#MENTRI PUPR
#KEJAKSAAN AGUNG RI
#OMBUDSMAN
Publisher -Red
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










