
Lahat, Sumatera Selatan –25 Juli 2025-, Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Kejaksaan terhadap seorang camat dan lebih dari 20 kepala desa di Kabupaten Lahat menjadi tamparan keras bagi integritas pemerintahan desa di Sumatera Selatan. Dugaan praktik pungutan liar yang terstruktur, sistematis, dan masif bukan hanya pelanggaran hukum serius, melainkan juga cerminan kegagalan sistemik dalam pengawasan, rapuhnya etika birokrasi, dan bobroknya budaya kepemimpinan di tingkat lokal.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, penggerebekan ini dilakukan saat para kepala desa tengah menghadiri rapat persiapan peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam operasi tersebut, tim kejaksaan juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai lebih dari Rp60 juta. Uang tersebut diduga hasil pungutan liar (pungli) yang dilakukan camat terhadap para kepala desa dengan berbagai dalih, dan dana ini dikumpulkan dari seluruh desa di Kecamatan Pagar Gunung.
Ironisnya, dana yang diduga dikumpulkan dari para kepala desa ini semestinya dialokasikan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa. Ini menimbulkan pertanyaan fundamental: di mana moralitas dan akuntabilitas para pemimpin desa yang seharusnya mengabdi pada rakyat?
Jika terbukti ada “kewajiban menyetor” dari para kepala desa kepada camat dengan dalih biaya seremonial atau operasional, maka ini merupakan bentuk penindasan struktural dalam tata kelola pemerintahan desa. Kepala desa berpotensi menjadi “sapi perah” bagi atasan, sementara masyarakat desa terpaksa menjadi saksi bisu atas praktik busuk yang mencederai nilai-nilai demokrasi dan otonomi desa.
Adapun 20 kepala desa yang turut diamankan berasal dari Desa Air Lingkar, Bandung Agung, Batu Rusa, Danau, Germidar Ilir, Germidar Ulu, Karang Agung, Kedaton, Kupang, Lesung Batu, Merindu, Muara Dua, Padang Pagun, Pagar Gunung, Pagar Alam, Penantian, Rimba Sujud, Sawah Darat, Siring Agung, dan Tanjung Agung.
“Sudah dibawa ke Palembang habis Maghrib tadi, kemungkinan tiba di kantor sekitar pukul 22.00 WIB,” ujar sumber yang enggan disebutkan namanya.
Kasus ini menjadi momentum krusial untuk mengevaluasi secara menyeluruh efektivitas reformasi desa yang digembar-gemborkan. Apakah reformasi tersebut telah menyentuh akar masalah penyalahgunaan kekuasaan di tingkat paling bawah? Pengawasan dari inspektorat daerah, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), hingga pemerintah kabupaten/kota harus dievaluasi total. Perlu dipertanyakan: apakah selama ini fungsi pengawasan berjalan efektif, ataukah justru terjadi pembiaran?
Masyarakat desa berhak mendapatkan pemimpin yang berdedikasi untuk kepentingan mereka, bukan yang sibuk menyetor ke atasan atau memperkaya diri. Kasus ini harus menjadi titik tolak bagi pembersihan total di tubuh pemerintahan desa. Penegak hukum didorong untuk tidak berhenti pada pelaku lapangan, melainkan harus mengusut tuntas keterlibatan oknum yang lebih tinggi jika ditemukan bukti kuat.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Selatan maupun Kejaksaan Negeri (Kejari) Lahat terkait status hukum para pihak yang diamankan.
Publisher -Red