Prabumulih, 07 Desember 2025 – Tata kelola keuangan Pemerintah Kota Prabumulih berada di titik nadir setelah Tim Pemeriksa, dengan temuan mengejutkan, membongkar praktik misklasifikasi anggaran masif senilai total Rp44.529.740.110,00 (lebih dari Rp44,5 Miliar). Ini bukan sekadar kesalahan ketik, melainkan malpraktik akuntansi yang terstruktur yang melibatkan 22 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dengan sengaja menukar pos Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa (B/J).
Total kerugian akuntabilitas ini setara dengan pembangunan puluhan fasilitas publik, namun uang rakyat tersebut kini lenyap, ditelan oleh lubang hitam manipulasi klasifikasi anggaran.
Inti dari skandal ini terletak pada pergeseran Belanja Modal (untuk pembangunan aset permanen seperti jalan dan gedung) menjadi Belanja B/J (untuk pengeluaran habis pakai).
– Hilangnya Aset Publik: Nilai Rp6,89 Miliar yang seharusnya menjadi aset tetap Prabumulih kini dicatat sebagai biaya operasional sekali pakai. Ini berarti proyek infrastruktur vital, seperti pekerjaan Normalisasi Sungai Kelekar di Dinas PUPR, secara administratif dianggap sama dengan pembelian alat tulis kantor. Siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya aset ini dari catatan negara?
– Indikasi Manipulasi Laporan: Praktik ini menimbulkan kecurigaan kuat bahwa misklasifikasi dilakukan untuk tujuan yang lebih licik, yaitu “mempercantik” dan “menggembungkan” realisasi pos tertentu agar tampak kinerja penyerapan anggaran tercapai. Ini adalah taktik kotor untuk menutupi kelemahan manajemen keuangan.
“Misklasifikasi Rp44,5 Miliar ini adalah bukti kegagalan moral dan profesionalisme. Ini adalah indikasi kuat adanya jaringan mafia anggaran yang bekerja secara sistematis di 22 SKPD. Mereka tidak hanya melanggar aturan akuntansi; mereka telah merampok kejujuran dalam laporan keuangan publik,” kecam Tim Redaksi Prima.
Dampak paling fatal dari sandiwara angka ini adalah ancaman serius terhadap opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Pemerintah Daerah Prabumulih kini di ambang dicap Wajar Dengan Pengecualian (WDP) oleh BPK—sebuah stempel aib yang menandakan bahwa laporan keuangan mereka cacat mendasar dan tidak bisa dipercaya.
Pihak yang bertanggung jawab, yakni Kepala SKPD, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan tim perencanaan/anggaran, tidak boleh hanya dikenai sanksi administratif ringan. Mereka adalah aktor utama di balik pencatatan fiktif ini.
– Sanksi Pemecatan dan Hukum: Pemerintah Daerah harus segera mencopot dan menindaklanjuti secara hukum pihak-pihak yang bertanggung jawab. Kelalaian yang berujung pada potensi hilangnya aset dan manipulasi laporan keuangan negara tidak bisa lagi ditoleransi hanya dengan “jurnal koreksi.”
– Audit Forensik: Tim Redaksi Prima mendesak BPK atau aparat penegak hukum melakukan audit forensik mendalam untuk memastikan apakah dana yang dimisklasifikasi benar-benar dibelanjakan atau sengaja dikaburkan untuk tujuan korupsi.
– Transparansi Total: Pemerintah Daerah wajib menjelaskan secara terbuka kepada publik mekanisme apa yang memungkinkan kebobrokan ini terjadi, dan mengapa sistem pengendalian internal mereka seburuk dan selonggar ini.
Prabumulih berhak menuntut pertanggungjawaban penuh atas setiap rupiah yang digelapkan dalam labirin birokrasi ini. Kegagalan ini adalah kudeta terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Publisher -Red (PRIMA)
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










