KEBUMEN, 16 Desember 2025 – Isu mengenai odong-odong di Kebumen memicu kekhawatiran meluas akibat kesalahpahaman publik terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Khususnya, tafsir tunggal terhadap ancaman denda Rp24 Juta telah menyesatkan fokus masyarakat, menciptakan polemik dan salah sangka terhadap aparat penegak hukum.
Rilis edukasi hukum ini disusun untuk meluruskan pemahaman, membedakan subjek hukum, dan memastikan semua pihak dapat mencermati UU secara utuh.
Pakar Hukum, Suramin, S.H., M.H., menegaskan bahwa dalam kerangka hukum pidana Indonesia, Pasal 277 UU LLAJ memiliki kedudukan sebagai delik pidana Kejahatan yang sanksinya tegas dan berat.
Suramin, S.H., M.H. (Pakar Hukum): “Masyarakat wajib memahami perbedaan posisi hukumnya. Sanksi pidana berat dalam Pasal 277 (denda hingga Rp24 Juta) adalah delik ‘Kejahatan’ yang diatur dalam UU LLAJ sebagai hukum spesialis. Subjek hukum pasal ini secara spesifik ditujukan kepada orang yang membuat atau merakit sendiri kendaraan bermotor yang diubah dimensinya tanpa izin resmi. Jika pemilik odong-odong melakukan perakitan sendiri, ia terancam pasal pidana ini.”
“Namun, jika pemilik tersebut hanya membeli unit odong-odong yang sudah jadi dari pihak lain, maka ia terlepas dari ancaman Pasal 277. Posisi hukumnya bergeser menjadi pelanggaran lalu lintas. Ia tidak terancam denda puluhan juta, tetapi ia akan dikenakan sanksi lain terkait operasional dan kelaikan kendaraan yang menjadi fokus penindakan di jalan raya,” jelas Suramin, S.H., M.H.
Suramin, S.H., M.H. menjelaskan bahwa penindakan yang dilakukan aparat di jalan raya didasarkan pada ketentuan keselamatan berlalu lintas dan perizinan, bukan karena delik perakitan.
– Pasal 277 (Menyasar Perakit Ilegal): Sanksi pidana terberat (denda hingga Rp24.000.000,00). Fokus pada tindakan sengaja membuat atau merakit kendaraan yang diubah tanpa melalui Uji Tipe resmi.
– Pasal 285 ayat (2), 286, dan 307 (Menyasar Pemilik Unit Jadi dan Pengemudi): Sanksi Tilang maksimal Rp500.000,00. Ini adalah delik pelanggaran lalu lintas dan angkutan yang fokusnya adalah:
– Persyaratan Teknis dan Kelaikan Jalan (Pasal 285 & 286): Kendaraan tidak aman dan tidak layak beroperasi di jalan umum.
– Izin Angkutan Umum (Pasal 307): Mengangkut penumpang berbayar tanpa izin operasional yang sah.
Sebagai penutup, Suramin, S.H., M.H. menyampaikan pesan yang lebih mendalam, mengajak masyarakat untuk melihat penegakan hukum bukan sekadar hukuman, melainkan perlindungan.
Suramin, S.H., M.H. (Pakar Hukum): “Makna filosofis dari penegakan hukum ini adalah perlindungan nyawa. Odong-odong, meskipun menjadi sumber mata pencaharian dan hiburan, secara hukum tidak memenuhi standar keselamatan minimum untuk mengangkut manusia. Jika Anda merakit, patuhilah Pasal 277 sebagai ketentuan pidana. Jika Anda mengemudi atau pemilik unit jadi, patuhilah Pasal 285, 286, dan 307. Ini adalah seruan agar kita semua menaati aturan demi keselamatan diri, anak-anak kita, dan seluruh pengguna jalan raya. Pahami UU secara bijak, dan jangan salah alamat dalam menanggapi sanksi hukum.”
Penegakan hukum odong-odong diatur secara proporsional oleh UU LLAJ: Menargetkan produksi ilegal (Perakit) dengan sanksi berat (Rp24 Juta) dan menertibkan operasional di jalan (Pengemudi/Pemilik Unit Jadi) dengan sanksi tilang (Rp500 Ribu). Masyarakat diminta untuk menjadikan keselamatan sebagai prioritas tertinggi.
Publisher – Redaksi CN
Reporter – Waluyo
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.











