
JAKARTA – Ketua Presidium Forum Pers Independent Indonesia (FPII), Dra. Kasihhati, menilai Wakil Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Silmy Karim, tidak pantas menjabat sebagai pejabat publik. Hal ini karena Silmy Karim dinilai tidak memiliki kepekaan dan responsibilitas terhadap permintaan klarifikasi dari institusi pers terkait dugaan praktik suap, pemerasan, dan gratifikasi yang menyeret namanya.
“Sebagai pejabat publik, ia seharusnya memiliki naluri dan kepekaan untuk merespons permintaan klarifikasi yang disampaikan institusi pers. Tindakan mengabaikan surat klarifikasi adalah bentuk arogansi dan ketidaktransparanan yang tidak patut dicontoh,” ujar Kasihhati kepada wartawan FPII di Jakarta pada Sabtu (14/9/2025).
Kasihhati memaparkan bahwa FPII telah dua kali mengirimkan surat klarifikasi kepada Wamen Imigrasi dan Pemasyarakatan, Silmy Karim. Surat pertama bernomor 005 tertanggal 18 April 2025 dan surat kedua bernomor 007 tertanggal 22 Mei 2025. Surat-surat tersebut dikirimkan sebagai bentuk pelaksanaan fungsi kontrol dan keberimbangan berita sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Surat klarifikasi tersebut meminta penjelasan dari Wamen Silmy Karim terkait dugaan gratifikasi, pemerasan, dan suap yang namanya tercantum dalam bukti transfer dan percakapan yang beredar di media sosial.
“Kejanggalan muncul ketika alih-alih memberikan klarifikasi, Wamen Silmy Karim dalam komunikasi via WhatsApp justru meminta saya untuk menjadi saksi dalam kasus yang menimpanya. Ketika permintaan ini kami tolak, ia langsung memblokir nomor WhatsApp saya. Mental petinggi kementerian kok seperti anak kecil,” tegas Kasihhati.
Dalam bukti yang diterima FPII, terungkap bahwa seorang Warga Negara Asing (WNA) berinisial “A” diduga telah menyetorkan dana secara rutin dalam nominal yang mencapai miliaran rupiah setiap bulan kepada oknum pejabat imigrasi dan pihak yang mengaku bisa “mengurus proses hukum” dari balik layar.
Menurut Kasihhati, bukti-bukti tersebut mencakup rekaman percakapan, tangkapan layar transaksi mata uang kripto (crypto), serta pernyataan ancaman dari WNA tersebut. Transaksi ini sebagian besar menggunakan USDT (Tether), dengan nilai kumulatif yang terlacak mencapai setara Rp560 juta.
“Yang kami soroti adalah respons Wamen yang mengabaikan surat klarifikasi. Pers memiliki peran penting dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas pejabat publik. Sikap Wamen Silmy Karim ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah ada pihak-pihak kuat di belakangnya sehingga ia merasa kebal hukum?” ujar Kasihhati.
Kasihhati menegaskan bahwa isu pribadi Wamen Silmy Karim, seperti isu perselingkuhan, bukan menjadi ranah FPII. “Masalah isu selingkuh bukan urusan saya, saya hanya ingin Wamen Silmy Karim menjawab surat klarifikasi pers yang kami kirimkan,” tegasnya.
Kasihhati juga mendesak Presiden Jenderal (Purn) Prabowo Subianto untuk segera mengevaluasi dan mengganti pejabat publik yang tidak terbuka, tidak transparan, dan tidak mau bekerja sama dengan wartawan.
“Jika memang tidak bersalah, kenapa harus takut menjawab surat klarifikasi? Sikap sombong dan arogan seperti ini tidak pantas dimiliki oleh pejabat publik,” pungkas Kasihhati.
Publisher -Red
Sumber : Presidium Forum Pers Independent Indonesia (FPII)