
Jakarta, 10 September 2025 – Yudo Sadewa, putra Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, mendadak menjadi sorotan publik setelah serangkaian unggahan kontroversialnya beredar luas di media sosial. Kontroversi ini muncul hanya sehari setelah ayahnya dilantik sebagai Menteri Keuangan. Alih-alih meredakan situasi, klarifikasinya justru memicu kritik lebih tajam dari warganet.
Kontroversi bermula dari beberapa unggahan Yudo, termasuk video yang membahas “empat ciri orang miskin.” Dalam video tersebut, Yudo, dengan gaya layaknya seorang motivator, memaparkan ciri-ciri yang ia klaim melekat pada orang miskin, yaitu: mentalitas kepiting, sikap munafik, kecenderungan rasis, dan “mental pengemis.” Pernyataan ini menuai respons negatif karena dianggap tidak memiliki empati dan jauh dari pemahaman realitas sosial di Indonesia.
Kritik publik juga menyoroti ironi antara pesan yang ia sampaikan dengan gaya hidup mewah yang dipertontonkan. Dalam video itu, Yudo mengenakan jaket hoodie A Bathing Ape (BAPE) seri Shark Full Zip yang harganya hampir mencapai Rp9 juta. Kontradiksi ini dianggap memperlihatkan ketidakpekaan terhadap kondisi masyarakat yang ia komentari.
Selain itu, Yudo juga sempat viral karena unggahan di media sosial yang menuduh mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai “agen CIA Amerika.” Unggahan tersebut kemudian viral dan akun media sosial Yudo mendadak hilang.
Menanggapi kegaduhan yang terjadi, Yudo Sadewa memberikan klarifikasi melalui sebuah video. Dalam klarifikasinya, ia menyebut pernyataan tentang Sri Mulyani sebagai “jokes” atau “candaan” yang ditujukan kepada teman-temannya. Ia juga menduga ada pihak yang sengaja “menggoreng” unggahannya sehingga menjadi viral.
Klarifikasi ini dianggap kurang tulus dan terkesan meremehkan isu yang ada. Alih-alih meminta maaf secara tegas, ia justru terkesan menyalahkan pihak lain yang membuat postingannya viral, padahal substansi pernyataan itu sendiri yang dinilai bermasalah. Sikap ini memperlihatkan kurangnya pemahaman tentang tanggung jawab sebagai figur yang memiliki privilese dan secara tidak langsung mewakili pejabat publik.
Publik berhak menuntut lebih dari sekadar nasihat kosong; mereka menuntut empati, pemahaman, dan tindakan nyata dari figur yang memiliki privilese. Kasus ini menjadi cerminan penting tentang pentingnya kepekaan sosial bagi anak-anak pejabat publik di era digital.
Publisher -Red