
KAMPAR (RIAU),CN – Kabupaten Kampar, Riau, kembali dihadapkan pada dugaan praktik penambangan dan pengomersialan hasil bumi secara ilegal. Kali ini, sorotan tajam tertuju pada Koperasi Produsen Tuah Madani Sukaramai yang disinyalir secara terang-terangan mengomersialkan tanah urug dari lahan pertambangan PT Sahabat Jaya Manufaktur (PT SJM) di Desa Sukaramai kepada subkontraktor perusahaan migas. Ironisnya, praktik ini diduga berlangsung tanpa izin dan melibatkan penggunaan alat berat serta angkutan umum yang tak memiliki legalitas.
Informasi yang dihimpun secara gamblang menunjukkan indikasi kuat pelanggaran hukum. Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Kabupaten Kampar dengan tegas menyatakan bahwa Koperasi Produsen Tuah Madani Sukaramai adalah entitas yang “tidak ada” dalam daftar mereka.
“Tidak ada sampai saat ini, saya juga baru dengar nama koperasi ini,” ungkap Adi, Bidang Koperasi DPM PTSP Kampar, pada Kamis (12/6/2025). Pernyataan ini bukan sekadar penegasan, melainkan alarm bahwa sebuah koperasi yang melakukan aktivitas penambangan dan perdagangan berskala besar beroperasi di luar radar pemerintah daerah.
Senada dengan DPM PTSP, Badan Pendapatan Daerah (BAPENDA) Kabupaten Kampar juga “belum mengetahui” keberadaan koperasi ini sebagai wajib pajak tambang hasil bumi bukan logam. Bahkan, data PT SJM sebagai wajib pajak terdaftar hanya mencantumkan nomor telepon tanpa nama penanggung jawab yang jelas. Situasi ini mengindikasikan potensi kerugian negara akibat penggelapan pajak yang masif.
Di tengah dugaan aktivitas ilegal yang terang-terangan, respons dari aparat penegak hukum, khususnya Kapolres Kampar, AKBP Mihardi Mirwan, justru memicu pertanyaan besar. Alih-alih proaktif melakukan penyelidikan berdasarkan informasi awal, Kapolres justru melempar tanggung jawab kepada masyarakat dan media.
“Tolong arahkan pelapor resmi, lengkap tertulis berikut saksi dan data pendukung,” ujar Kapolres singkat pada Rabu (4/6/2025). “Yang terima dugaan tambang ilegal bisa dilaporkan. Bantu segera siap saksi dan dokumen, pendekatan untuk pelapor diarahkan ya bang,” tambahnya.
Sikap ini dinilai sangat kontradiktif dengan Pasal 1 ayat (5) KUHAP dan Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 yang jelas-jelas memungkinkan informasi awal, termasuk dari pemberitaan media, sebagai dasar penyelidikan (pro justitia). Mengapa seorang Kapolres memilih untuk menanti laporan formal yang serba lengkap, seolah-olah kantor polisi telah berubah fungsi menjadi loket administrasi? Pertanyaan ini mengusik logika publik: apakah ada aktor besar di balik praktik ilegal ini sehingga institusi penegak hukum terkesan enggan menyentuhnya?
Kasus ini semakin kompleks dengan dugaan adanya jaringan di balik praktik ilegal ini. Material berupa tanah urug tambang mineral bukan logam jenis bebatuan diduga dijual oleh PT SJM kepada Koperasi Produsen Tuah Madani Sukaramai, lalu dikomersialkan ke PT APG West Kampar Indonesia melalui kontraktor PT PNE.
Pengakuan Kepala Desa Sukaramai, Sabaruddin, yang menyatakan tidak adanya kontrak kerja resmi antara PT SJM dan koperasi, menguatkan dugaan ilegalitas. Lebih parah lagi, Sekretaris Desa Sukaramai, Abdul Gofur, yang juga menjabat Ketua Koperasi, berani mengklaim bahwa “izin PT SJM berlaku untuk umum.” Sebuah pernyataan yang tidak hanya menyesatkan secara hukum, tetapi juga mengindikasikan potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang di tingkat pemerintahan desa.
Jika aparat penegak hukum serius, kasus ini dapat dijerat dengan berbagai pasal, termasuk Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 (UU Minerba) tentang penambangan tanpa izin, Pasal 161 UU No. 3 Tahun 2020 tentang penyalahgunaan izin, serta Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jika terbukti adanya keterlibatan pejabat desa.
Sikap Kapolres Kampar hari ini menyisakan pertanyaan serius: apakah penegakan hukum hanya tajam ke bawah, dan tumpul ketika berhadapan dengan koperasi, perusahaan tambang, dan jaringan migas yang diduga melakukan pelanggaran?
Publik, media, dan aktivis lingkungan semakin gencar menyerukan agar Polda Riau dan Kementerian ESDM segera turun tangan. Jika pembiaran terus berlanjut, bukan hanya sumber daya alam yang terkuras, tetapi wibawa hukum dan kepercayaan publik akan makin hancur. Potensi penggelapan pajak yang merugikan keuangan negara serta dugaan praktik tindak pidana korupsi yang merajalela akan semakin memperparah kondisi.
Kapolres Kampar kini berada di persimpangan jalan: tetap menunggu laporan formal dari warga yang mungkin tak punya akses dan nyali melawan jaringan besar, atau mulai bertindak berdasarkan informasi awal, sebagaimana mandat KUHAP dan hati nurani aparat penegak hukum.
Karena kalau bukan polisi yang bertindak, maka siapa lagi? Berlakukah hukum di Kabupaten Kampar terhadap aktivitas terduga pelaku tambang dan pengomersialan hasil pertambangan mineral bukan logam ilegal ini? Atau akankah kasus ini menjadi bukti nyata bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka yang lemah?
Publisher -Red