
BOGOR SELATAN CN- 11 Mei 2025, – Sesuaikan dengan tanggal publikasi] – Persoalan krusial terkait tata ruang dan pertanahan kembali mencuat di wilayah selatan Kabupaten Bogor, memicu keprihatinan mendalam dari berbagai elemen masyarakat. Dalam sebuah dialog lintas pihak yang konstruktif, Sabtu (10/5/2025), terungkap betapa buruknya tata kelola ruang dan agraria di kawasan tersebut, yang secara signifikan memperburuk kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup masyarakat setempat.
Dialog penting ini diinisiasi oleh Forum Wartawan Bogor Selatan (FWBS), Aliansi Masyarakat Bogor Selatan (AMBS), Himpunan Petani Peternak Milenial Indonesia (HPPMI) Kabupaten Bogor, LSM Gebrak, dan Agraria Institut. Acara yang berlangsung di Saung Perjuangan 25, Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk ini menghadirkan Plt Ketua PWI Jawa Barat H. Danang Donoroso, para kepala desa, petani yang terdampak, aktivis lingkungan, serta sejumlah jurnalis.
Berbagai persoalan mendasar yang selama ini meresahkan masyarakat mengemuka dalam forum tersebut. Isu-isu seperti tumpang tindih kepemilikan tanah yang tidak terselesaikan, lemahnya sistem administrasi pertanahan yang berimplikasi pada ketidakpastian hukum, maraknya konflik lahan antara petani dan pihak lain, hingga praktik mafia tanah yang semakin merajalela menjadi sorotan utama. Kondisi ini diyakini memiliki dampak langsung pada kesejahteraan petani sebagai tulang punggung pangan dan mengancam program ketahanan pangan nasional.
Plt Ketua PWI Jawa Barat, H. Danang Donoroso, berbagi pengalaman pribadinya terkait ketidaksesuaian data pertanahan. “Saya alami sendiri. Di letter C tertulis tanah saya 1.000 meter, tapi hasil ukur kurang. Bahkan saya kesulitan membayar pajak karena nomor register tanah tidak tercatat di BPN,” ungkapnya.
Kisah serupa juga disampaikan oleh Bubung Saiful Arsyad, seorang petani dari Desa Pasir Buncir yang telah puluhan tahun menggarap lahan eks PT BSS. Ia mengungkapkan kekhawatiran atas munculnya klaim kepemilikan lahan secara tiba-tiba dari PT MNC Land. “Beberapa petani bahkan dilaporkan ke polisi,” keluhnya.
Ketua HPPMI Kabupaten Bogor, Yusuf Bahtiar, melihat kondisi ini sebagai manifestasi ketimpangan agraria yang parah. “Investor hanya memegang surat, tanpa pernah mengolah lahan. Ironisnya, petani yang secara aktif menggarap lahan justru mendapatkan intimidasi. Upaya advokasi yang kami lakukan pun berujung pada permusuhan,” tegasnya.
Dede Firman Karim, Direktur Agraria Institut, menganalisis akar permasalahan ini. Menurutnya, lemahnya peran Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai regulator, minimnya edukasi pertanahan kepada masyarakat, serta pengawasan yang tidak efektif menjadi penyebab utama kekacauan tata ruang dan pertanahan di Bogor Selatan. “Kepastian hukum adalah kebutuhan mendasar bagi semua pihak. Masyarakat perlu pemahaman yang jelas mengenai status dan administrasi tanah mereka agar terhindar dari praktik okupasi ilegal,” jelas Dede.
Menyikapi situasi ini, Ketua Umum AMBS, Muhsin SIP, menyatakan komitmennya untuk membawa hasil dialog ini ke tingkat nasional. “Kami akan mengadvokasi persoalan ini hingga ke Senayan sebagai upaya mencari solusi sistemik,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua FWBS, Acep Mulyana, menekankan bahwa dialog ini merupakan langkah awal kolaborasi multipihak dalam mencari solusi konkret atas permasalahan agraria yang kompleks di wilayah selatan Bogor. “Ke depan, kami berencana memperluas kegiatan serupa dengan melibatkan kepala daerah, perwakilan BPN, camat, serta para kepala desa se-Kabupaten Bogor,” ungkapnya.
Sebagai wujud komitmen bersama untuk mengatasi persoalan ini, acara diakhiri dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara FWBS, AMBS, HPPMI, Agraria Institut, dan LSM Gebrak. MoU ini mencakup pengelolaan lahan garapan petani yang berkeadilan, penataan tata ruang yang berkelanjutan, pelestarian lingkungan hidup, serta penanganan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan yang timbul akibat konflik agraria.