
Danau Paris, Aceh Singkil, 16 Oktober 2025– Seorang tokoh masyarakat adat Desa Lae Balno, Munawir, mengungkapkan serangkaian dugaan pelanggaran yang ia sebut dilakukan oleh pemegang Hak Guna Usaha (HGU), PT Delima Makmur, di wilayah Kabupaten Aceh Singkil. Pernyataan ini disampaikan Munawir kepada awak media pada Rabu, 16 Oktober 2025, yang kemudian meminta agar pandangannya dimuat dalam berita.
Munawir menceritakan bahwa pelanggaran oleh perusahaan HGU ini dinilai cukup banyak dan telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Berikut adalah poin-poin dugaan pelanggaran yang disampaikan Munawir terkait aktivitas PT Delima Makmur di Kecamatan Danau Paris:
– Kewajiban Plasma: Munawir menyoroti bahwa meskipun perusahaan telah memiliki Izin HGU selama puluhan tahun, mereka belum pernah merealisasikan kebun plasma (kemitraan 20%) kepada masyarakat. “Padahal dalam undang-undang agraria, dua tahun setelah memiliki izin HGU, kebun plasma wajib sudah dibagikan kepada masyarakat,” ujarnya.
– Pengukuran Lahan: Menurut Munawir, pengukuran calon HGU tidak pernah melibatkan masyarakat adat atau warga setempat. Ia menuduh PT Delima Makmur beserta tim ukur langsung turun melakukan pengukuran sendiri terhadap lahan tanpa sepengetahuan masyarakat.
– Pencaplokan Lahan Adat: Munawir mengklaim bahwa tanah pemakaman leluhur masyarakat adat, seperti di Desa Tubuh Tubuh dan Desa Situban Makmur, telah diklaim masuk dalam HGU perusahaan.
– Dampak pada Sertifikat Tanah Warga: Dampak dari klaim HGU ini, menurut Munawir, adalah masyarakat desa tidak bisa mengurus sertifikat rumahnya karena tanah yang mereka tempati telah diklaim masuk dalam HGU.
– Perusakan Lingkungan: Munawir menuduh adanya perusakan lingkungan parah yang dilakukan perusahaan. Sebagai contoh, ia menyebut danau di Kecamatan Danau Paris sudah mulai mengering akibat pembabatan hutan. Ia juga menyebut rusaknya lahan hayati rawa gambut dan jarak tanam yang terlalu dekat dengan sungai, serta menuduh perusahaan telah menghabiskan lahan rawa gambut seluas ribuan hektar di Desa Situban Makmur dengan menggunakan alat berat.
– Pengambilan Material Tambang: Munawir juga menuduh PT Delima Makmur melakukan pengambilan sirtu, pasir, dan koral di lokasi HGU. Menurutnya, hal ini tidak dibenarkan oleh Kementerian Pertambangan karena suatu perusahaan HGU perkebunan tidak boleh memiliki dua izin, termasuk izin tambang jenis galian C.
Munawir menyatakan keheranannya bahwa dugaan pelanggaran ini terus terjadi selama berpuluh-puluh tahun tanpa tersentuh hukum, menyiratkan adanya pembiaran.
“Yang sangat miris bagi kami warga masyarakat Aceh Singkil kenapa setiap ada tokoh masyarakat yang menyuarakan dan menuntut hak masyarakat kecil langsung dibungkam,” tegasnya.
Ia mencontohkan kasus aktivis Yakarim Munir yang memperjuangkan hak-hak masyarakat. Munawir mengklaim Yakarim dipidanakan dan diperlakukan “seperti teroris” padahal kasusnya adalah kasus perdata.
“Pesan Kejagung, di dalam undang-undang tidak ada tercantum hati nurani, tetapi di dalam penegakan hukum harus pakai hati nurani. Pertanyaan nya ada apa dengan Aceh Singkil seakan-akan ada pembiran terhadap perusahaan-perusahaan HGU yang telah melakukan pelanggaran HAM perampasan hak masyarakat,” pungkasnya.
Menggunakan peribahasa, Munawir berkata: “Pasir di seberang lautan kelihatan, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan.”
Sebagai penutup pernyataannya, Munawir menyerukan kepada masyarakat Aceh Singkil untuk bersatu. “Mari kita bangun kekompakan, kita jalin tali persaudaraan kita, kita pertahankan tanah leluhur kita, di Kabupaten Aceh Singkil itu adalah milik kita warisan dari nenek moyang kita yang harus kita jaga bersama dan rebut kembali sampai titik darah penghabisan,” tutupnya, seraya berharap masyarakat membantu sesama yang tertindas.
Publisher -Red
Reporter CN -Amri