KARANGSAMBUNG – 18 Desember 2025- Proyek Satuan Pelayanan Makanan Bergizi (SPPG) di Desa Plumbon kini bukan lagi sekadar program pemenuhan gizi, melainkan simbol ironi yang menyakitkan. Di balik tembok pabrik yang megah, tersimpan dugaan kejahatan lingkungan yang sistematis: memproduksi makanan sehat dengan cara meracuni lahan tani dan membungkam suara publik dengan arogansi.
Bukan sekadar isu, fakta di lapangan menunjukkan pemandangan yang mengerikan. Jalur pembuangan limbah SPPG telah bertransformasi menjadi “jalur kematian” bagi tanaman padi warga. Hamparan sawah yang seharusnya hijau kini menguning kerontang, layu sebelum berkembang persis di titik di mana cairan sisa produksi dimuntahkan ke lahan warga.
Kondisi ini bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan bentuk pengabaian terhadap hak hidup petani lokal yang tanahnya telah menjadi “keranjang sampah” bagi industri berkedok program sosial.
Upaya verifikasi media untuk mengungkap kebenaran justru dihadapi dengan sikap premanisme intelektual. Oknum pengelola SPPG dengan nada intimidatif mencoba menghalangi pengambilan gambar, seolah-olah area tersebut adalah zona militer yang kebal hukum.
“Kenapa ambil gambar tidak izin dulu? Izin ke pemilik!” hardik oknum tersebut.
Reaksi defensif dan antikritik ini justru mempertebal kecurigaan publik. Hanya mereka yang menyembunyikan “bangkai” yang akan panik saat dicium bau busuknya. Penghalangan ini bukan hanya melanggar UU Pers No. 40/1999, tapi juga bentuk penghinaan terhadap hak publik untuk tahu.
Pemilik usaha, Pak Haji, melontarkan pembelaan yang tidak hanya lemah, tapi menghina logika. Ia mengklaim padi yang mati disebabkan oleh “tanah yang terlalu gembur”.
“Itu kuning karena tanahnya terlalu gembur,” cetusnya tanpa beban.
Pernyataan ini adalah lelucon yang buruk. Petani Plumbon telah menggarap lahan tersebut selama puluhan tahun tanpa masalah “kegemburan”, hingga akhirnya SPPG berdiri dan mulai membuang sisa produksinya. Klaim memiliki IPAL dan izin lingkungan pun patut dipertanyakan validitasnya jika IPAL berfungsi, mengapa sawah di sebelahnya mati?
Masyarakat tidak butuh program “Gizi” jika harganya adalah kedaulatan pangan lokal. Kami menuntut tindakan radikal dari otoritas terkait:
– Garis Polisi Area Limbah: Segel segera saluran pembuangan SPPG sebelum kerusakan meluas dan merusak sumber air tanah warga.
– Audit Independen Non-Pemerintah: Kami menuntut uji lab dari pihak ketiga yang tidak bisa “dibeli”, karena kepercayaan publik terhadap klaim internal perusahaan sudah mencapai titik nol.
– Pidana Lingkungan Tanpa Kompromi: Desak DLH dan Kepolisian untuk menerapkan Pasal 104 UU PPLH. Penjara bagi perusak lingkungan bukan lagi pilihan, tapi keharusan.
– Boikot Operasional: Hentikan seluruh aktivitas produksi SPPG Plumbon hingga ada jaminan nol limbah (zero waste) dan ganti rugi penuh bagi petani yang dimiskinkan oleh limbah mereka.
“Mereka bicara soal gizi anak-anak, tapi mereka mematikan piring nasi para petani. Ini bukan pemberdayaan, ini penjajahan gaya baru atas nama program pemerintah,” pungkas seorang warga dengan nada geram.
# Presiden Republik Indonesia
# Kepala Badan Gizi Nasional
# Menteri Lingkungan Hidup RI (Kabinet Merah Putih)
# Menteri Pertanian RI
# Menteri Sekretaris Negara
# Ketua Dewan Pers
# Dirjen Gakkum KLHK RI
# Kapolri (Cq. Dirtipidter Bareskrim)
# Gubernur Jawa Tengah
# Bupati Kebumen
Publisher -Red
Reporter CN -Waluyo
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.











