ACEH SINGKIL 23 November 2025- Masyarakat di Aceh Singkil kembali menyuarakan keresahan dan menuntut kejelasan hukum terkait status lahan seluas 2.576 hektar yang diduga digarap tanpa Hak Guna Usaha (HGU) oleh PT Delima Makmur.
Lahan ini, yang mencakup sebagian wilayah Kecamatan Danau Paris dan Kecamatan Singkil Utara, sempat menjadi barang bukti tindak pidana penyerobotan. Penyidik Polda Aceh bahkan pernah melakukan penyitaan pada 27 November 2018, didasarkan pada penetapan resmi dari Pengadilan Negeri Aceh Singkil.
Aksi penyitaan pada 2018 tersebut disaksikan oleh ratusan warga dari Kecamatan Danau Paris, Gunung Meriah, dan Singkil Utara. Menurut saksi pelapor, Riduansyah, penyitaan dilakukan terhadap lahan yang diduga telah digarap PT Delima Makmur selama puluhan tahun tanpa memiliki HGU.
Namun, Riduansyah mengungkapkan bahwa plang sita Polda Aceh hanya bertahan sekitar 1,5 tahun. “Usia plang sita hanya bertahan 1,5 tahun. Akhirnya plang sita Polda dicabut pada tanggal 15 September 2019 tanpa status hukum yang jelas,” ujar Riduansyah.
Lahan-lahan yang menjadi fokus barang bukti penyitaan ini berlokasi di Desa Telaga Bakti (Kecamatan Singkil Utara) serta Desa Biskang dan Desa Situban Makmur (Kecamatan Danau Paris).
Di tengah ketidakjelasan status lahan tersebut, masyarakat Singkil dikejutkan dengan terbitnya Sertifikat HGU No. 28 Tahun 2021 yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh Singkil, dan ditandatangani oleh Kepala BPN saat itu, Muhamad Reza.
Warga mempertanyakan kewenangan penerbitan HGU ini. Mereka menduga bahwa penerbitan sertifikat HGU di atas 2.000 hektar seharusnya menjadi kewenangan Dirjen Pengendalian Tanah dan Tata Ruang, bukan BPN/ATR tingkat daerah.
“Kami masyarakat Aceh Singkil tercengang. Sertifikat HGU No. 28 diterbitkan berdasarkan SK No. 92/KEM/ATR/BPN/2021. Jarak penerbitan kedua dokumen itu hanya berselang tiga minggu. Kami menduga keras ada indikasi gratifikasi,” ungkap salah seorang tokoh masyarakat Singkil.
Dalam kasus penyerobotan lahan seluas 2.576 hektar yang sama, Polda Aceh sebelumnya telah menetapkan beberapa pejabat perusahaan, termasuk Direktur Alfred Lauren Purba, sebagai tersangka dugaan tindak pidana penyerobotan tanah, sesuai Pasal 385 KUHP.
Penetapan tersangka ini menjadi bukti bagi masyarakat bahwa proses hukum sempat berjalan.
“Kami merasa negara memang benar-benar hadir saat penetapan resmi pengadilan dan penyitaan oleh Polda dilakukan. Tapi kini harapan kami pupus di tengah jalan karena tidak ada kepastian hukum sampai sekarang pada tahun 2025 ini,” ujar sumber lain dari masyarakat.
Selain kasus 2.576 hektar tanpa HGU, sejumlah masyarakat juga menyampaikan kepada awak media adanya dugaan pengrusakan lahan produksi seluas 5 hektar oleh perusahaan. Kasus dugaan pengrusakan hutan ini, yang juga berada di lokasi yang sama (total areal 2.581 hektar), dilaporkan sedang diproses berdasarkan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
“Yang 5 hektar lagi sampai sekarang tidak jelas statusnya,” tambah sejumlah masyarakat.
Masyarakat Aceh Singkil kini meminta agar Presiden RI Prabowo Subianto memberikan perhatian khusus. Mereka mendesak agar Presiden memerintahkan aparat penegak hukum (APH) untuk mengusut tuntas kasus ini, demi memulihkan hak-hak masyarakat dan kejelasan status lahan.
“Kasus ini harus menjadi prioritas agar tidak terkesan ada pembiaran hukum di Aceh,” tutupnya.
TINDAK LANJUT:
– Pewarta akan mengupayakan konfirmasi dari PT Delima Makmur, BPN Aceh Singkil, dan Polda Aceh untuk mendapatkan keterangan resmi mengenai status hukum terakhir lahan 2.576 Ha dan proses hukum terhadap para tersangka.
– Redaksi juga membuka ruang hak jawab dan hak koreksi kepada semua pihak terkait.
Publisher -Redย
Reporter CN -Amriย
Eksplorasi konten lain dari Cyber Nasional
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.










