
Aceh Timur, 12 Agustus 2025 – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh mendesak Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) untuk bertindak tegas sebagai pengawas, menyusul dugaan pencemaran udara dari aktivitas PT Medco E&P Malaka di Gampong Panton Rayeuk T, Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur. WALHI menilai BPMA abai menjalankan fungsinya dan terkesan menjadi juru bicara perusahaan, alih-alih melindungi keselamatan warga.
Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, menyatakan bahwa sejak awal Agustus, warga kembali resah akibat bau menyengat yang diduga berasal dari pembersihan sumur migas AS9 milik Medco. Keresahan ini diperburuk oleh fakta bahwa warga mulai menjadi korban. “Pada Sabtu (9/8/2025), seorang perempuan berusia 36 tahun harus dirawat di Puskesmas Keude Gerobak karena mual, muntah, dan pusing. Sejumlah warga lain, termasuk anak-anak, juga mengalami sesak napas,” ujar Ahmad Shalihin, yang akrab disapa Om Sol, pada Selasa (12/8/2025).
Menurut WALHI, peristiwa ini membangkitkan kembali trauma kebocoran gas H₂S pada 24 September 2023, yang menyebabkan 34 warga dirawat dan lebih dari 500 lainnya mengungsi. WALHI menekankan bahwa BPMA, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 23 Tahun 2015, memiliki kewenangan dan tugas untuk melaksanakan, mengendalikan, dan mengawasi kegiatan migas.
“BPMA itu pengawas perusahaan migas, bukan juru bicaranya. Lembaga ini seharusnya tidak menjadi tameng perusahaan,” tegas Om Sol.
WALHI Aceh mendesak BPMA untuk segera mengambil langkah konkret, di antaranya:
* Melakukan investigasi independen terhadap penyebab bau menyengat.
* Mengukur kualitas udara di lokasi terdampak secara transparan.
* Mempublikasikan hasil investigasi dan pengukuran kepada publik tanpa ditutup-tutupi.
“Kasus ini sudah berulang. Pada 2021 dan puncaknya 2023, warga keracunan gas H₂S. BPMA harus memastikan pembersihan sumur AS9 tidak berdampak buruk bagi warga. Keselamatan warga harus menjadi prioritas, di atas kepentingan produksi dan profit industri,” tambah Om Sol.
WALHI juga menyoroti peran PT Medco E&P Malaka. Ahmad Shalihin menegaskan bahwa perusahaan harus bertanggung jawab penuh atas dampak kesehatan dan lingkungan yang timbul. Ia juga meminta manajemen PT Medco untuk tidak meremehkan kasus ini atau membuat tuduhan tanpa bukti.
“Masyarakat membutuhkan empati dan dialog yang tulus dari perusahaan, bukan pernyataan yang melecehkan penderitaan mereka atau menuding pihak lain tanpa dasar,” ujarnya.
Kasus ini, menurut WALHI, bukan sekadar masalah teknis migas, melainkan menyangkut hak asasi manusia atas lingkungan yang sehat, sebagaimana dijamin UUD 1945 Pasal 28H dan UU No. 32/2009.
“Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komnas HAM, dan terutama BPMA, harus segera turun tangan. Jika pengawasan longgar, ini akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola migas di Indonesia,” tutup Om Sol.
Kontak Person: Afifuddin Acal
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh- 085361616931
Publisher -Red
Reporter CN- Amri