
Aceh Singkil, 2 Oktober 2025 – Kasus penahanan Yakarim Munir, aktivis agraria di Aceh Singkil, memicu gelombang kritik tajam terhadap wajah hukum Indonesia yang dinilai telah runtuh di bawah dominasi oligarki terstruktur. Dipenjara karena berjuang mempertahankan tanah rakyat dari konsesi korporasi sawit PT Delima Makmur, Yakarim mengirimkan pesan dari dalam tahanan yang menyebut negara sedang berada di bawah bentuk penjajahan baru: penjajahan oleh kekuatan modal besar.
Penahanan Yakarim, yang terjadi saat sengketa lahan masih dalam proses perdata, dinilai oleh tim kuasa hukum sebagai bentuk kriminalisasi terang-terangan yang membungkam aktivisme dan merupakan bukti konkret bahwa hukum pidana digunakan sebagai alat kekuasaan.
Dalam pernyataan tertulisnya yang kuat, Yakarim Munir menegaskan bahwa yang terjadi di Aceh Singkil bukan sekadar konflik agraria, melainkan gambaran kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya. Ia menuding kelompok oligarki telah berhasil menyusup dan menentukan arah kebijakan di semua lini kekuasaan: birokrasi, legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
“Kelompok oligarki ini telah menyusup ke jantung kekuasaan. Mereka bukan hanya hadir, mereka menentukan arah negara,” tulis Yakarim. “Konflik agraria ini hanyalah satu dari banyak contoh ketika rakyat dikalahkan oleh sistem hukum yang sudah ‘dibeli’.”
Kritik Yakarim diamini oleh Prof. Dr. Sutan Nasomal, akademisi senior dan pengamat hukum tata negara. Prof. Sutan menegaskan bahwa hukum di Indonesia kini tidak lagi berfungsi sebagai instrumen keadilan, melainkan melayani kepentingan elit. Ia menyoroti pola kemunduran demokrasi melalui dua kasus besar:
* Kekerasan terhadap wartawan (seperti Diri Ambarita dan Tahan Purba) yang minim penyelesaian hukum.
* Kriminalisasi terhadap aktivis, dengan Yakarim Munir sebagai contoh paling nyata.
“Negara terlihat lamban. Hukum bukan lagi instrumen keadilan, tapi alat kekuasaan. Ini bukan hanya kemunduran, ini ancaman nyata bagi demokrasi,” tegas Prof. Sutan Nasomal, mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengintervensi secara tegas demi memulihkan kredibilitas penegak hukum yang ia nilai “mati suri.”
Tim kuasa hukum Yakarim menekankan bahwa penahanan ini ilegal dan bermotif politis. Gugatan pidana yang diajukan PT Delima Makmur dinilai bersandar pada pasal-pasal sumir dan bertentangan dengan prinsip hukum karena substansi kasus sedang dalam proses perdata.
“Kami melihat adanya pola sistematis di mana hukum pidana digunakan untuk membungkam aktivisme. Ini bukan lagi soal hukum, ini soal kekuasaan dan kepentingan modal,” ujar perwakilan tim hukum Yakarim.
Yakarim juga menyampaikan kritik keras kepada pejabat publik, menuding banyak birokrat telah beralih menjadi ‘pelayan modal’ dan ‘penjilat kekuasaan’ alih-alih pelayan rakyat.
Dari balik jeruji, Yakarim justru menyerukan revolusi Hak Guna Usaha (HGU), mendesak peninjauan ulang seluruh izin penguasaan tanah perusahaan besar dan pengembaliannya kepada masyarakat adat atau petani kecil.
“Kita tidak boleh mewariskan kepada generasi kita kenyataan bahwa leluhurnya menyerah, diam, dan kalah terhadap kezaliman. Perjuangan ini adalah tanggung jawab sejarah,” tegasnya.
Mengakhiri pernyataannya, Yakarim mengajak semua elemen bangsa—mahasiswa, jurnalis, petani, buruh, dan aktivis—untuk terus menyuarakan kebenaran dan keadilan tanpa rasa takut. Kasus Yakarim Munir menjadi pengingat pahit: ketika hukum berpihak pada korporasi, kekuatan rakyat yang tersisa adalah suara dan solidaritas.
Redaktur: Amri