
Aceh, Nagan Raya,14 Agustus 2025– Aktivitas penambangan galian C ilegal di Desa Kuta Makmue, Kecamatan Kuala, Kabupaten Nagan Raya, terus menjadi sorotan publik. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) menyoroti dugaan kuat bahwa kegiatan ini bisa terus beroperasi bebas karena adanya “backing” dari oknum aparat penegak hukum (APH).
Penambangan yang diduga ilegal ini sudah berlangsung lama, melibatkan penggunaan alat berat dan puluhan truk yang setiap hari mengangkut pasir dari sungai. Faktanya, kegiatan ini tidak memiliki dokumen perizinan resmi namun tetap beroperasi tanpa hambatan. Warga setempat merasa resah, terutama setelah melihat dampak nyata pada lingkungan, seperti rusaknya abutmen jembatan yang mengganggu mobilitas.
Selain perizinan, LSM GMBI juga menemukan indikasi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk kegiatan komersial ini. Hal ini melanggar peraturan yang ada, karena BBM bersubsidi seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat umum.
Salah seorang warga, yang meminta namanya diinisialkan DD, mengungkapkan adanya dugaan keterlibatan oknum APH. “Informasi yang kami terima, ada setoran rutin Rp15 juta per bulan kepada oknum tertentu. Ini menunjukkan hukum bisa dibeli,” kata DD pada Rabu (13/6/2025). Tudingan ini diperkuat oleh keluhan warga yang merasa pihak berwenang seolah menutup mata terhadap praktik ilegal ini.
Menanggapi situasi ini, Ketua LSM GMBI wilayah Nagan Raya menegaskan komitmennya untuk mengambil langkah hukum. Pihaknya berencana berkoordinasi dengan instansi terkait dan aparat penegak hukum untuk memastikan adanya tindakan tegas. “Kami tidak akan membiarkan pelanggaran ini terus terjadi. Negara dirugikan, dan rakyat yang menderita dampaknya,” tegasnya.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 158, mengatur sanksi bagi pelaku penambangan tanpa izin. Pelakunya dapat dihukum penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar. Sementara itu, penggunaan BBM bersubsidi untuk tujuan komersial dapat dijerat dengan Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, Pasal 55, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 6 tahun dan denda hingga Rp60 miliar.
Masyarakat Desa Kuta Makmue berharap pemerintah daerah dan aparat penegak hukum segera bertindak tegas untuk menghentikan aktivitas ini. Mereka menegaskan bahwa kelestarian lingkungan dan keselamatan infrastruktur jauh lebih penting daripada keuntungan pribadi.
Publisher -Red